Emotional Eating, Penyebab, Akibat dan Penanganan - Ashefa Griya Pusaka

Emotional Eating, Penyebab, Akibat dan Penanganan

emotional eating
Share on:

Emotional eating atau makan secara emosional  melibatkan penggunaan makanan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan emosional dan bukan untuk memenuhi rasa lapar fisik. Memahami emotional eating dan mengenali tanda-tandanya adalah langkah awal untuk mengatasi kebiasaan yang dapat mengganggu kesehatan ini.

Definisi Emotional Eating

Makan secara emosional didefinisikan sebagai tindakan menggunakan makanan untuk membuat diri sendiri merasa lebih baik, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan emosional daripada memenuhi kebutuhan perut. Hal ini seringkali dipicu oleh perasaan tidak menyenangkan seperti stres, kecemasan, kesepian, dan kelelahan.

Perilaku makan ini bukan tentang memenuhi kebutuhan fisik akan nutrisi, melainkan mencari hiburan dalam makanan sebagai upaya mengelola atau menekan emosi negatif. Meskipun mungkin memberikan kelegaan sementara, makan secara emosional tidak akan menyelesaikan masalah emosional yang memicunya. Seiring waktu, hal ini dapat menyebabkan kebiasaan makan yang tidak sehat, masalah berat badan, dan siklus perasaan negatif terhadap makanan dan citra tubuh.

Tanda Tanda Emotional Eating

Rasa lapar emosional muncul secara berbeda dibandingkan rasa lapar fisik. Berikut beberapa tanda utama kelaparan emosional, yang dapat membantu membedakannya dengan kelaparan fisik:

  • Tiba-tiba dan Lapar Parah: Rasa lapar emosional muncul secara tiba-tiba dan terasa sangat berat dan mendesak, sedangkan rasa lapar fisik muncul secara bertahap.
  • Mengidam Makanan Spesifik: Rasa lapar emosional sangat menginginkan makanan tertentu yang menenangkan seperti junk food atau camilan manis.
  • Makan Tanpa Pikiran: Rasa lapar emosional sering kali mengarah pada makan tanpa pikiran, di mana pelaku mengonsumsi makanan tanpa memperhatikan atau menikmatinya sepenuhnya. Sebaliknya, rasa lapar fisik membuat pelakunya lebih sadar akan apa yang dilakukan.
  • Tidak Puas Meski Kenyang: Rasa lapar emosional tidak terpuaskan setelah kenyang; penderita tetap menginginkan lebih dan sering makan sampai merasa kekenyangan. Sebaliknya, rasa lapar fisik akan terasa terpuaskan saat perut kenyang.
  • Berfokus pada Tekstur, Rasa, dan Bau: Rasa lapar emosional sering kali terletak di kepala dan terfokus pada tekstur, rasa, dan bau tertentu, sedangkan rasa lapar fisik terletak di perut sebagai perut yang keroncongan atau perih.

Semua tanda-tanda tadi menunjukkan rasa lapar emosional dan mungkin mengarah pada perilaku emotional eating. Mengenali tanda-tanda ini adalah langkah penting dalam mengelola dan menyembuhan perilaku tak sehat itu.

Membedakan Kelaparan Emosional vs. Kelaparan Fisik

Langkah penting dalam mengatasi emotional eating adalah memahami perbedaan antara rasa lapar emosional dan fisik. Kedua jenis rasa lapar ini dapat mendorong kita untuk makan, namun berasal dari tempat yang berbeda dan memiliki ciri yang berbeda.

Ciri-ciri Kelaparan Emosional

Rasa lapar emosional terkait erat dengan faktor psikologis dan dapat menjadi respons terhadap stres, kesedihan, kebosanan, atau keadaan emosional lainnya. Berikut beberapa ciri utama kelaparan emosional:

  • Permulaan: Rasa lapar emosional datang secara tiba-tiba dan terasa sangat berat serta mendesak, berbeda dengan rasa lapar fisik yang datangnya secara bertahap.
  • Mengidam: Rasa lapar emosional sering kali menginginkan makanan tertentu yang menenangkan, seperti junk food atau camilan manis, untuk memberikan kepuasan langsung.
  • Kesadaran: Rasa lapar emosional sering kali mengarah pada pola makan yang tidak disengaja, yaitu Anda mengonsumsi makanan tanpa memperhatikan atau menikmatinya sepenuhnya.
  • Kepuasan: Rasa lapar emosional tidak terpuaskan setelah Anda kenyang; Anda tetap menginginkan lebih dan sering makan sampai Anda merasa kenyang.
  • Lokasi: Rasa lapar emosional sering kali terletak di kepala dan terfokus pada tekstur, rasa, dan bau tertentu, sedangkan rasa lapar fisik terletak di perut dalam bentuk perut yang keroncongan atau rasa perih.

Ciri-ciri Kelaparan Fisik

Sebaliknya, rasa lapar fisik adalah sinyal alami tubuh bahwa tubuh membutuhkan lebih banyak nutrisi untuk energi dan fungsi. Berikut beberapa ciri utama kelaparan fisik:

  • Permulaan: Rasa lapar fisik cenderung muncul secara bertahap, memberi Anda waktu untuk memilih makanan yang tepat untuk dimakan.
  • Mengidam: Rasa lapar fisik tidak memiliki preferensi terhadap makanan tertentu dan dapat dipuaskan dengan berbagai macam pilihan.
  • Kesadaran: Rasa lapar fisik mendorong makan secara sadar, membuat Anda lebih sadar akan apa dan berapa banyak yang Anda konsumsi.
  • Kepuasan: Rasa lapar fisik terasa terpuaskan setelah perut kenyang. Itu tidak mendorong Anda untuk makan berlebihan, dan Anda berhenti makan saat Anda sudah kenyang.
  • Lokasi: Rasa lapar fisik biasanya dirasakan di perut, terlihat melalui gejala seperti perut keroncongan atau rasa perih.

Akibat Perilaku Emotional Eating

Makan secara emosional adalah mekanisme penanggulangan yang dilakukan banyak orang ketika menghadapi emosi yang tak menyenangkan. Ada beberapa dampak signifikan baik secara fisik maupun psikologis dari perilaku emotional eating ini yaitu :

  • Dampak Fisik

Emotional eating seringkali menimbulkan ketidaknyamanan fisik, termasuk mengurangi tingkat energi dan sakit kepala. Perilaku ini berbeda dengan makan karena rasa lapar fisik, yang berhenti setelah tubuh mendapat nutrisi dan kepuasan. Sebaliknya, rasa lapar emosional tidak terpuaskan bahkan setelah mengonsumsi makanan dalam jumlah yang biasanya membuat seseorang merasa kenyang. Sebaliknya, penderita terus makan sampai mereka merasa kekenyangan.

Makan berlebihan dapat menyebabkan beberapa masalah kesehatan fisik lainnya, mulai dari penambahan berat badan dan obesitas hingga kondisi yang lebih serius seperti diabetes, penyakit jantung, dan kondisi kesehatan terkait obesitas lainnya. Selain itu, siklus diet yang berulang dan penambahan berat badan dapat mengarah pada pola yang merusak, terkadang disebut sebagai ‘diet yo-yo’, yang dapat membahayakan kesehatan fisik.

  • Dampak Psikologis

Dari segi psikologis, makan secara emosional tidak secara efektif menyelesaikan emosi yang tidak nyaman; itu hanya memberikan kesenangan sementara. Seiring waktu, penderita mungkin mulai merasa semakin tidak berdaya terhadap kebiasaan makan dan emosinya, yang mengarah ke lingkaran setan pembicaraan negatif pada diri sendiri, rasa bersalah, dan peningkatan pola makan emosional.

Selain itu, makan secara emosional sering kali mengarah pada pola makan yang tidak ada gunanya, yaitu seseorang mengonsumsi makanan tanpa memperhatikan atau menikmatinya sepenuhnya. Kurangnya kesadaran ini dapat menyebabkan terputusnya hubungan dengan isyarat lapar fisik dan menurunnya kemampuan untuk mendapatkan kepuasan dari makan.

Selain itu, emotional eating paling sering dipicu oleh perasaan tidak menyenangkan seperti stres, kecemasan, kesepian, dan kelelahan. Seiring waktu, hal ini dapat menyebabkan hubungan yang menyimpang dengan makanan, karena makanan menjadi alat utama untuk mengelola emosi, sehingga semakin memperburuk masalah kesehatan mental.

Jadi, dampak dari emotional eating ternyata jauh melampaui kepuasan sesaat. Hal ini dapat menimbulkan dampak yang parah dan bertahan lama terhadap kesehatan fisik dan mental.

Mengatasi Emotional Eating

Mengatasi emotional eating akan melibatkan pengenalan perilaku dan pengembangan mekanisme penanggulangan yang sehat. Pendekatan ini tidak hanya membahas tindakan fisik dari makan emosional tetapi juga masalah emosional mendasar yang berkontribusi terhadap hal tersebut.

Mengenali Perilaku

Langkah penting pertama dalam mengatasi makan emosional adalah pengakuan. Hal ini melibatkan kesadaran akan saat-saat ketika seseorang menggunakan makanan sebagai mekanisme untuk mengatasi emosi yang tidak nyaman. Makan secara emosional sering kali mengakibatkan ketidaknyamanan fisik, penurunan tingkat energi, dan sakit kepala, dan tidak secara efektif mengatasi emosi tidak nyaman.

Mengenali perilaku ini bukan berarti menyalahkan atau merasa bersalah. Sebaliknya, ini tentang memahami pola dan pemicu yang menyebabkan makan secara emosional. Dengan mengidentifikasi pemicu-pemicu ini, seseorang dapat mulai memahami kebutuhan emosional yang ingin mereka penuhi melalui makanan.

Mengembangkan Mekanisme Mengatasi yang Sehat

Setelah pola makan emosional dikenali, langkah selanjutnya adalah mengembangkan mekanisme penanggulangan yang lebih sehat. Hal ini melibatkan pencarian cara alternatif untuk mengatasi emosi yang tidak nyaman, daripada beralih ke makanan.

Penting untuk diingat bahwa menggunakan aturan makanan yang membatasi untuk memerangi makan emosional mungkin tidak berhasil untuk semua orang. Makan secara emosional bukan semata-mata tentang pengendalian diri tetapi juga tentang mengatasi emosi tidak nyaman yang mendasarinya.

Mekanisme penanggulangan yang sehat dapat mencakup aktivitas seperti olahraga, meditasi, atau berbicara dengan teman atau terapis yang dipercaya. Alternatif-alternatif ini memberikan cara untuk mengatasi ketidaknyamanan emosional tanpa ketidaknyamanan fisik dan risiko kesehatan yang terkait dengan makan secara emosional.

Selain itu, menerima dan mengatasi emosi tidak nyaman tanpa menghakimi diri sendiri sangat penting dalam memerangi makan emosional dan menemukan mekanisme penanggulangan alternatif secara efektif.

Gangguan Makan

Makan secara emosional terkadang dapat meningkat menjadi kondisi yang lebih serius yang dikenal sebagai eating disorder. Gangguan makan adalah kondisi kompleks yang dapat berdampak buruk pada fungsi fisik, psikologis, dan sosial seseorang. Tiga jenis gangguan makan yang paling umum adalah anoreksia nervosa, bulimia nervosa, dan gangguan makan berlebihan.

Gangguan makan mempengaruhi hingga 5% populasi di dunia. Penyakit ini sering berkembang pada masa remaja dan dewasa muda, namun dapat terjadi pada usia berapa pun dan memengaruhi jenis kelamin apa pun.

Mengatasi gangguan makan melibatkan pendekatan multi-segi yang mencakup psikoterapi, konseling, dan intervensi farmakologis. Pilihan pengobatan ini bertujuan untuk mengatasi komplikasi psikologis, perilaku, nutrisi, dan kemungkinan komplikasi medis yang timbul dari gangguan ini, seperti masalah jantung dan pencernaan, atau kondisi yang berpotensi fatal lainnya.

  • Psikoterapi dan Konseling

Psikoterapi, khususnya terapi perilaku kognitif (CBT), memainkan peran penting dalam pengobatan gangguan makan. CBT digunakan secara luas untuk mengubah pola pikir dan perilaku negatif terkait makanan dan citra tubuh, sehingga menumbuhkan perspektif dan kebiasaan yang lebih sehat.

  • Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis merupakan komponen penting lainnya dalam rencana pengobatan eating disorder, terutama pada orang dewasa. Obat-obatan seperti antidepresan dan antipsikotik mungkin diresepkan untuk mengatasi gejala emosional dan psikologis yang terkait dengan gangguan ini.

Obat psikotropika yang direkomendasikan untuk gangguan makan adalah fluoxetine untuk bulimia nervosa dan lisdexamfetamine untuk gangguan makan berlebihan. Obat-obatan ini, yang dikombinasikan dengan psikoterapi, dapat berkontribusi pada pengurangan karakteristik klinis gangguan makan pada populasi orang dewasa.

Publikasi: Ashefa Griya Pusaka

Scroll to Top