Gangguan sensorik (sensory disorders) adalah perubahan persepsi terhadap rangsangan sensorik. Misalnya sensasi suhu, tekanan atau nyeri yang terganggu. Penyebabnya mungkin tidak berbahaya, misalnya saraf terjepit bisa memicu gangguan sensorik. Namun kerusakan parah pada jalur saraf, penyakit otak dan sumsum tulang belakang juga bisa memicu gangguan sensorik.
Apa itu Gangguan Sensorik?
Kulit kesemutan, terbakar, atau terasa berbulu adalah beberapa gejala gangguan sensorik. Persepsi rangsangan (eksternal) melalui kulit terganggu pada orang yang menderita gangguan sensorik. Namun sensitivitas kedalaman cenderung tidak terpengaruh meski menderita gangguan sensorik. Hal ini merujuk pada persepsi terhadap tubuh sendiri, misalnya posisi persendian, pergerakan otot, dan posisi dalam ruang.
Gangguan persepsi terhadap rangsangan sensitif dapat terjadi pada area tubuh yang terbatas, misalnya sensasi kesemutan yang terbatas secara lokal di wajah. Hal ini dapat menyebabkan, misalnya, gangguan pada satu saraf. Namun, bisa juga terjadi pada area yang luas, misalnya pada separuh tubuh. Hal ini bisa menjadi indikasi adanya kerusakan atau gangguan pada sistem saraf pusat, yaitu otak atau sumsum tulang belakang.
Gangguan sensorik dapat mempengaruhi berbagai bidang persepsi. Berikut ini mungkin terpengaruh:
- persepsi suhu (dingin/panas)
- sensasi tekanan, dan sentuhan
- sensasi getaran
- persepsi nyeri
- persepsi tubuh dalam ruang (indra posisi, sensasi gerakan)
- sensasi kekuatan
Persepsi terhadap rangsangan sensitif dapat diganggu atau diubah dengan berbagai cara. Ini termasuk:
- Quantitative disorder : suatu stimulus dianggap lebih kuat atau lebih lemah dari yang sebenarnya.
- Qualitative sensory disturbance : stimulus dirasakan berbeda dari biasanya.
- Dissociated sensory disorder : tidak ada persepsi nyeri dan suhu, tetapi sensasi sentuhan dan tekanan tetap terasa.
- Dissociative sensory disorder: tidak ada penyebab fisik, kemungkinan akibat trauma atau gangguan psikogenik.
Persepsi terhadap rangsangan sensitif bisa sama sekali tidak ada (anestesi), berkurang (hipoaesthesia) atau meningkat secara signifikan (hiperalgesia).
Jika saraf rusak atau transmisi rangsangan ke sistem saraf pusat tidak berfungsi dengan baik, sejumlah gejala khas bisa terjadi. Sensasinya dapat dipengaruhi dalam beberapa cara:
- Mati rasa di area tubuh yang terkena (hipoestesia)
- Hipersensitivitas terhadap rangsangan sentuhan (hiperestesi)
- Sensasi tidak menyenangkan yang tidak dipicu oleh stimulus (paresthesia)
- Sensasi tidak menyenangkan terhadap rangsangan normal (disestesia)
Penderitanya sering menggambarkan gejala gangguan sensorik sebagai berikut:
- Kesemutan (di kaki, tangan, wajah, dll.)
- Ant-walking
- Gatal
- Terasa terbakar
- Perasaan ada bulu menempel di kulit
- Reaksi berlebihan terhadap panas atau dingin
- Rasa sakit yang tidak dapat dijelaskan
Sensasi seperti kesemutan di tangan atau wajah sering terjadi. Penyempitan area saraf atau terjepitnya saraf (sementara) mungkin menjadi penyebabnya. Kesemutan biasanya hilang dengan sendirinya setelah beberapa waktu. Namun jika terjadi kerusakan serius pada saraf atau sistem saraf pusat, gejalanya juga bisa bersifat permanen.
Dissociated sensory disorder adalah bentuk khusus dari gangguan sensorik. Gangguan sensorik terdisosiasi ini mengacu pada kondisi di mana rasa sakit maupun suhu tidak terdeteksi di suatu bagian tubuh, namun sentuhan masih terasa. Persepsi terhadap tekanan pada kulit juga masih utuh.
Bentuk khusus ini disebabkan oleh kerusakan hanya pada bagian tertentu dari serabut saraf sensitif di sumsum tulang belakang atau batang otak, yang bisa disebabkan oleh tumor tertentu, misalnya.
Sementara Dissociative sensory disorder atau Gangguan sensorik disosiatif tidak memiliki penyebab fisik. Dokter terkadang berbicara tentang sensasi psikogenik. Saraf dalam keadaan sehat dan transmisi rangsangan ke sistem saraf pusat juga berfungsi. Meski begitu, penderita merasa tidak nyaman. Biasanya terjadi sebagai efek samping dari kelainan yang kompleks. Kemungkinan pemicunya adalah gangguan stres pascatrauma atau gangguan kepribadian ambang.
Diagnosis Gangguan Sensorik
Jika mencurigai menderita gangguan sensorik, temui dokter Anda terlebih dahulu. Dokter dapat menilai apakah penyebabnya berbahaya atau tidak. Jika perlu, ia akan merujuk Anda ke ahli saraf.
Pada awal diagnosis dilakukan diskusi dokter-pasien (anamnesis). Dengan melakukan hal ini, dokter akan mengumpulkan informasi penting tentang penyebab, tingkat keparahan, dan lokasi gangguan sensorik. Misalnya, dokter bertanya:
- Kapan Anda pertama kali menyadari gejalanya?
- Dalam situasi apa?
- Pernahkah Anda mengalami kecelakaan atau cedera sebelum ketidaknyamanan tersebut terjadi?
- Di mana Anda merasakan ketidaknyamanan tersebut?
- Bagaimana Anda menggambarkan sensasinya?
- Apakah ada gejala lain (seperti kelumpuhan, gangguan bicara)?
- Apakah Anda menderita kondisi lain seperti diabetes?
- Apakah Anda sedang minum obat?
Anamnesis dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Ahli saraf akan memeriksa sensitivitas pasien dengan bantuan berbagai tes. Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan persepsi nyeri dan suhu serta kepekaan terhadap tekanan dan sentuhan.
Dengan sepotong kapas atau selulosa, dokter menggelitik pasien dan memeriksa apakah orang yang terkena merasakan rangsangan eksternal. Juga akan mengetes pasien dengan benda tajam dan memeriksa kepekaannya terhadap rasa sakit.
Salah satu metode untuk mendiagnosis gangguan sensorik adalah tes monofilamen. Dokter menekan benang plastik khusus dan relatif kaku pada kulit. Pada tekanan tertentu, benang akan tertekuk – pasien akan merasakan sensasi tertusuk-tusuk pada kulit. Dengan berkurangnya kepekaan terhadap rasa sakit, orang yang terkena tidak merasakan benangnya tertekuk.
Dalam beberapa kasus, analisis darah di laboratorium bermanfaat. Penilaian ortopedi, misalnya pada kasus herniasi diskus, atau tes alergi mungkin juga diperlukan untuk mendiagnosis gangguan sensorik.
Jika diduga terjadi kerusakan saraf atau kerusakan pada otak atau sumsum tulang belakang, ahli saraf akan menggunakan teknik pencitraan. Dengan demikian, kemungkinan kerusakan pada sistem saraf perifer dan pusat sering kali terlihat. Tergantung pada dugaan diagnosis, beberapa teknik berikut mungkin digunakan:
- Tomografi terkomputasi
- Pencitraan resonansi magnetik (pencitraan resonansi magnetik)
- Pemeriksaan cairan serebrospinal (tusukan cairan serebrospinal)
- Radiografi
- Angiografi
Pengobatan Gangguan Sensorik
Pengobatan gangguan sensorik akan sangat bervariasi. Perawatan selalu tergantung pada penyebabnya. Jika saraf yang terkena terjepit, seperti pada sindrom terowongan karpal, gejalanya sering kali hilang dengan sendirinya setelah beberapa waktu. Jika tidak, fisioterapi dapat membantu membersihkan saraf. Bahkan jika saraf terganggu karena herniasi diskus, dokter akan meresepkan fisioterapi.
Namun, jika suatu penyakit menyebabkan gangguan sensorik, maka harus diobati. Ada beberapa jenis obat yang dapat mengurangi gejala gangguan sensorik. Obat-obatan ini diberikan kepada pasien dengan multiple sclerosis atau penyakit Parkinson, misalnya.
Dalam beberapa kasus, pembedahan diperlukan untuk menyembuhkan gangguan sensorik. Contohnya adalah abses atau tumor pada otak atau sumsum tulang belakang. Jika diangkat melalui pembedahan, tekanan pada jaringan di sekitarnya dan juga pada saraf berkurang. Pasien akan merasa lega dan gangguan sensorik akan hilang.
Dalam beberapa kasus gangguan sensorik, ketidaknyamanan terjadi setelah minum obat tertentu. Jika ini terjadi, bicarakan dengan dokter. Jika perlu, dokter dapat meresepkan obat lain atau menyesuaikan dosisnya. Jangan pernah menghentikan pengobatan apa pun tanpa berkonsultasi dengan dokter. Pasien juga tidak boleh menyesuaikan dosisnya sendiri.
Publikasi: Ashefa Griya Pusaka