Program pemulihan yang tepat bisa dilihat dari apa saja yang mereka berikan selama masa rehabilitasi narkoba. Oleh karena itu sebelum menjalani program rehabilitasi jangan lupa untuk mencari informasi tentang tempat rehab yang akan kamu pilih.
Bagaimana menemukan Program Pemulihan yang tepat?
Pemulihan pada gangguan penggunaan narkotika adalah sebuah proses perubahan yang dijalani oleh setiap orang dengan gangguan penyalahgunaan narkotika untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Total abstinensia atau berhenti dari penggunaan narkotika merupakan tujuan jangka panjang yang didukung oleh tujuan-tujuan jangka pendek.
Orang dengan gangguan penyalahgunaan narkotika dengan derajat keparahan yang tinggi pun dapat menemukan solusi dan jalan keluar dari permasalahannya dengan catatan terpenuhinya layanan program pemulihan yang sinkron dan sesuai denga napa yang dibutuhkan oleh individu. Berada dalam pemulihan adalah ketika perubahan dan nilai positif tersebut menjadi bagian dari gaya hidup yang diadopsi secara sukarela. Sementara banyak orang dalam pemulihan percaya bahwa berpantang dari semua penggunaan narkoba adalah ciri utama dari gaya hidup pemulihan, yang lain melaporkan bahwa menangani perasaan negatif tanpa menggunakan zat dan menjalani kehidupan yang berkontribusi adalah bagian yang lebih penting dari pemulihan mereka.
Tidak sedikit orang dengan gangguan penyalahgunaan narkotika harus berulangkali mengakses program pemulihan dan rehabilitasi dikarenakan kekambuhan yang dialami, menjalani rehab fasilitas premium lebih enak dan nyaman. Perasaan sedih, kecewa, marah dan pesimis terhadap program pemulihan umumnya timbul setelah berulangnya situasi dan kekambuhan yang dialami oleh individu. Perawatan pada gangguan penggunaan narkotika tidak satu ukuran untuk semua orang. Perawatan dapat bervariasi berdasarkan kebutuhan. Setiap individu dapat memilih perawatan yang paling sesuai untuk setiap individu berdasarkan jenis narkotika yang digunakan, metode layanan yang dibutuhkan, kebutuhan layanan kesehatan mental, layanan dukungan keluarga, Pendidikan dan lainnya.
Perlu diperhatikan oleh orang tua/keluarga/wali sebelum mengikutsertakan anggota keluarga dengan gangguan penggunaan narkotika dalam layanan terapi dan rehabilitasi bahwa prinsip pertama dalam perawatan pemulihan gangguan narkotika tidak dapat memberikan jaminan “kesembuhan” . Sesuai dengan definisi dari gangguan penggunaan narkotika adalah gangguan otak kronis yang bersifat kambuhan. Kekambuhan bukan benda asing dalam proses pemulihan. Relapse is a part of Recovery umumnya diinformasikan oleh pemberi layanan kepada calon penerima layanan.
Pilihan metode layanan dalam program pemulihan pun patut dipertimbangkan, mengingat beragamnya kebutuhan dan aspek-aspek yang terganggu dari penggunaan narkotika tentunya tidak sepatutnya satu metode layanan digeneralisir kepada setiap pengguna narkotika. Beberapa metode layanan yang berorientasi pada pemulihan antara lain perawatan rawat jalan jangka panjang, layanan rawat inap, manajemen kasus, pendampingan dan lainnya.
Indikator keberhasilan dari sebuah layanan program pemulihan salah satunya adalah meningkatnya kualitas hidup dari penerima layanan saat dan setelah menjalani layanan pemulihan dengan metode apapun. Alat ukur yang digunakan dalam mengukur kualitas hidup umumnya adalah alat ukur Quality of Life yang dikembangkan oleh World Health Organization, biasanya dikenal dengan istilah WHOQoL. Pihak keluarga disarankan menggali informasi sedalam-dalamnya terkait metode yang digunakan, sarana layanan yang disediakan, kompetensi sumber daya manusia, mitra kerjasama lembaga penyedia layanan dan tentunya akuntabilitas lembaga penyedia layanan yang terjamin.
Faktor biaya tentunya menjadi salah satu komponen yang umumnya menjadi pertimbangan dalam mengakses layanan. Perlu diperhatikan, tingginya biaya yang diterapkan tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas layanan yang disediakan. Sangat disarankan untuk melakukan crosscheck kepada leading sector di Pemerintah yang berwenang dalam upaya pencegahan dan penanggulangan narkotika untuk mengetahui kapasitas lembaga swasta penyedia layanan atau rekomendasi atas layanan program pemulihan yang komprehensif.
Ketelitian, kesabaran dan kehati-hatian mutlak diperlukan dalam proses menemukan layanan program pemulihan. Menjalankan program pemulihan tidak sama dengan melakukan perbaikan kendaraan di bengkel yang memberikan garansi dalam kurun waktu tertentu apabila kualitas layanan tidak sesuai harapan. Layanan program pemulihan yang dinilai baik memiliki tanggung jawab moriil yang diemban atas setiap individu yang mengakses layanan. Akuntabilitas, transparansi dan kualitas layanan dapat ditunjukan dan mudah diakses oleh masyarakat melalui berbagai platform media.
Diantara asa dan penjara
“Viktimologi adalah sebuah ilmu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari viktimisasi (criminal) sebagai sebuah permasalahan manusia dalam kenyataan sosial.” Viktimologi berasal dari kata Latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti pengetahuan ilmiah atau studi.
Ilmu Viktimologi mengkaji tema-tema yang terkait dengan korban, seperti: peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku tidak pidana dengan korban, kerentanan posisi korban serta peran korban dalam sistem peradilan pidana. Menurut J.E. sahetapy ruang lingkup viktimologi “meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh victim yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan”.
Tipologi korban itu sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu Korban Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan dan Korban ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri. Salah satu tipologi dalam perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan adalah False victims yaitu mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri. Disisi lain Stepen Schafer mengemukakan bahwa bila dilihat dari perspektif tanggung jawab korban, salah satu tipologi yang disebutkan adalah Self victimizing victims yaitu koran kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
Terkait dengan pembahasan pada orang dengan gangguan penggunaan narkotika, yang di dalam Undang-undang Narkotika disebut dengan istilah Penyalahguna, Korban Penyalahgunaan Narkotika, atau Pecandu Narkotika. Pasal 111, 112, dan 127 UU Narkotika, Penyalahgunaan Narkotika masih termasuk ke dalam Kejahatan, karena hal ini diatur di dalam ketentuan pidana dan diancamkan pidana penjara dalam durasi waktu tertentu, walaupun pada pasal lain terdapat ketentuan yang melihat masalah penggunaan narkotika dari perspektif kesehatan.
Dilihat dari sudut pandang viktimologi, maka orang dengan gangguan penggunaan narkotika termasuk ke dalam kategori korbanyang membutuhkan penerapan keadilan yang berbasis restorasif dalam mencapai tujuan kepulihan dan pemenuhan atas jaminan pengaturan rehabilitasi medis dan sosial sebagaimana tercantum dalam tujuan Undang-undang Narkotika.
Dalam tujuan tersebut, terdapat upaya pengaturan atas perlindungan kesehatan khususnya bagi pengguna / pecandu narkotika melalui jaminan rehabilitasi medis dan sosial. Pasal 54 dalam Undang-undang tentang Narkotika mewajibkan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Kewajiban menjalani rehabilitasi ini ditindaklanjuti dengan kewajiban lapor diri bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dan orang tua bagi anak yang masih dibawah umur.
Peraturan ini memberikan pemahaman bahwasanya rehabilitasi adalah salah satu upaya pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika[1] agar dapat pulih dari ketergantungan narkotika. Hal ini diperkuat dengan pengaturan bahwasanya seseorang dapat untuk tidak dituntut pidana selama ia memenuhi syarat-syarat yang ditentukan yang salah satunya adalah telah dilaporkan oleh orang tuanya ke institusi penerima wajib lapor (IPWL) atau sedang menjalani rehabilitasi medis dan dalam perawatan dokter[2].
Data hasil survei BNN tahun 2017 menunjukan Jumlah penyalahguna narkotika dalam setahun terakhir adalah 3,376,115 orang,[3] hampir 60% diantaranya adalah pengguna narkotika coba pakai, 28% adalah pengguna teratur pakai dan hampir 15% adalah pecandu. Mengacu pada hasil survei ini, jumlah kapasitas layanan rehabilitasi dinilai masih sangat minim baik dari komponen infrastruktur dan/atau SDM yang kompeten.
Data Ditjenpas bulan mei 2020 menunjukan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan NKP (Narkoba Pengguna) adalah sejumlah 36,351 orang.[4] Over Capacity yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan merupakan tantangan tersendiri bagi setiap WBP untuk dapat mengakses layanan kesehatan secara optimal.
Upaya Depenalisasi atau menggantikan pidana penjara dengan tindakan yang bertujuan restoratif bagi Pengguna Narkotika dinilai merupakan salah satu alternatif solusi di dalam upaya pemenuhan hak atas kesehatan. Upaya restoratif dalam bentuk jaminan atas rehabilitasi dan perlindungan terhadap hak atas kesehatan itu sendiri telah diatur dalam Pasal 55, 127 ayat (3) dan 128 Undang-undang Narkotika, walaupun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelumnya.
Situasi ini menyisakan pertanyaan, akan dibawa kemanakah orang dengan gangguan narkotika? Semakin berjejalnya lembaga pemasyarakatan tidak berbanding lurus dengan penurunan jumlah pengguna narkotika. Hal ini mengindikasikan bahwa ancaman pidana penjara belum dapat menjawab permasalahan yang sudah terjadi selama bertahun-tahun. Kondisi ini sejalan dengan teori program pemulihan bahwa tidak mungkin ada satu ukuran sepatu yang pas untuk setiap orang.
[1] Republik Indonesia, Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 55
[2] Ibid., pasal 128 ayat (2) dan (3)
[3] Survei Nasional Penyalahgunaan Narkoba di 34 Provinsi tahun 2017, Puslitdatin BNN RI 2017
[4] Direktort jenderal pemasyarakatan, Sistem database pemasyarakatan, http://smslap.ditjenpas.go.id/public/rwt/current/monthly/year/2020/month/4, juni 2020
Publikasi: Ashefa Griya Pusaka