#Chapter3
Penolakan Candu di Tanah Jawa
Di masa-masa awal, orang Sunda ternyata tak mempan oleh godaan candu. Masyarakat priagan bahkan menyatakan sikap menolak terhadap candu dengan membuat peraturan yang melarang candu secara resmi. Sepanjang abad ke-19, kawasan ini dinyatakan bebas candu. VOC mengeluarkan maklumat atas larangan para bandar candu dari tionghoa masuk dan berbisnis di wilayah Keresidenan pasundan dan Banten.
Terhitung sejak awal abad 20, candu memiliki legitimasi untuk masuk wilayah sunda dan sekitarnya, setelah VOC mencabut hak atas penguasaan penjualan candu pada satu wilayah dari para saudagar tionghoa. Sebagai gantinya, sejak saat itu Belanda menerapkan sistem regie yang memberikan izin terhadap perwakilan pemerintah untuk berdagang secara resmi di kedua wilayah tersebut. Wilayah pasundan, akhirnya terjebak oleh regulasi yang melegalkan candu di wilayahnya.[1]
Belanda mulai mendirikan bandar-bandar candu resmi di pedalaman Jawa pada 1830. VOC mengimpor bahan candu mentah yang dilelang dari pasar candu di India dan Singapura. Proses pengolahan bahan mentah candu lalu diserahkan kepada para pedagang, yang turut bertindak sebagai pemasok candu di tanah Jawa.
Penggunaan candu atau biasa disebut madat semakin meluas, dampak buruk dari penggunaan candu juga terlihat cukup signifikan, termasuk dari borosnya pengeluaran uang untuk belanja candu, termasuk masyarakat kelas pekerja. Pada masa itu pun sudah ada kelompok anti candu yang berjuang untuk memeranginya dan menabukan candu dengan memasukkannya pada larangan “molimo” yaitu ajaran moral oleh Sunan Ampel yang memberikan aturan dan melarang kaum laki-laki berbuat lima hal negatif yang diawali dari kata M, yaitu Maling (mencuri), Madon (main perempuan), Minum (alkohol), Main (berjudi) dan Madat (mengisap candu).
Penguasa Surakarta masa itu, Raja Paku Buwono IV yang memerintah pada sejak 1788-1820 telah menuliskan ajaran moral dalam syair Panjang bertajuk Wulang Reh (ajaran berperilaku benar). Ia menggambarkan penghisap candu sebagai orang yang malas dan bersikap masa bodoh, yang hanya gemar berleha-leha di dipan untuk menghisap candu.[2]
Pujangga Ronggowarsito menilai peringatan Paku Buwono IV tentang candu dapat dibaca sebagai komentar terhadap merosotnya nilai-nilai moral istana/kerajaan di Jawa yang membantu mempercepat perpecahan politik dan perbudakan yang dilakukan Belanda terhadap pihak kerajaan.
Peringatan bagi elite kerajaan akan dampak buruk dan bahaya candu telah disampaikan secara intensif dalam literatur sastra. Paku Buwono II bahkan melarang menghisap candu bagi sanak famili dan seluruh keturunannya.
Pada pihak Belanda juga telah dibentuk gerakan etis sejak tahun 1880, yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat (termasuk pribumi didalamnya). Seorang sastrawan dan jurnalis bernama Pieter Brooshooft mengeluarkan Memorie yang menuliskan kesedihan atas keadaan di hindia belanda akibat kebijakan tanam paksa dan menyuarakan agar dilakukan pengurangan pajak pada pribumi, dan mengembangkan program yang dapat memajukan pertanian rakyat. Alexander Claver menuliskan dalam Dutch Commerce and Chinese Merchants in Java (2014) bahwa Candu Regie pertama kali diterapkan untuk Batavia pada 1893 dan disetujui untuk seluruh Hindia Belanda pada 1897.
Pada awal abad ke-20. Belanda meyepakati perjanjian global yang diinisiasi oleh Amerika Serikat dan Inggris terkait masalah candu dengan bertempat di Den Haag. Kesepakatan itu menyatakan candu terlarang diperdagangkan, kecuali untuk keperluan pengobatan. Namun, Belanda hanya mengesahkan kesepakatan tersebut ke dalam bentuk peraturan khusus untuk hukum di Belanda saja. Di Hindia Belanda, candu tetap bebas diperdagangkan. Sebagai respom atas minimnya peran Pemerintah Belanda menekan penggunaan dan penjualan candu di Hindia Belanda, maka pada tahun 1913 sekelompok orang bergabung dan membentuk organisasi gerakan anti-candu.[3]
Rehabilitasi Narkoba Kala itu
Sejarah rehabilitasi narkoba pada zaman itu (Hindia Belanda) pembatasan penggunaan candu dimulai sejak 1 september 1894. Pemerintah Hindia Belanda, yang mengadakan monopoli perdagangan candu, mendatangkan bahan tersebut dari timur tengah kemudian diolah dan diedarkan kepada mereka yang memiliki surat keterangan boleh menghisap madat.[4]
Sebagaimana telah dituliskan sebelumnya, Awal abad ke-20 Belanda menyepakati perjanjian global yang diinisiasi oleh Amerika Serikat dan Inggris terkait candu yang bertempat di Den Haag. Perjanjian itu mencantumkan pelarangan candu untuk diperdagangkan, terkecuali peruntukan bagi kepentingan medis. Namun, strategi yang dijalankan oleh Belanda, bahwasanya mereka hanya mengesahkan perjanjian tersebut bagi hukum yang berlaku di Negara Belanda saja. Di Hindia Belanda, candu tetap bebas diperdagangkan. Pada tahun 1913, sebagai respom terhadap minimnya peran Belanda dalam menekan masalah candu di Hindia Belanda, sekelompok orang bergabung dan menyepakati pembentukan organisasi gerakan anti-candu.[5]
Abdul Wahid, dalam makalah berjudul “Perang Salib Anti Candu di Jawa: Kebangkitan dan Perkembangan Gerakan Anti Candu di Jawa Akhir Kolonial” (Anti-Opium Crusade in Java: the rise and Development of Anti-candu Movement in Late Colonial Java) yang dipresentasikan pada konferensi Pengobatan Kolonial di Masa Pasca Kolonial: Kesinambungan, Transisi, dan Perubahan di Jakarta pada 27-30 Juni 2018 silam, mencatat setidaknya ada tiga organisasi semacam itu, yakni Anti-Candu Vereeniging (AOV) dan International Order of Good Templars (IOGT) yang berkantor di Batavia; serta Netherlands-Indische Anti-Candu Vereeniging (NIAOV) yang berkantor di Bandung.[6]
Untuk menyediakan layanan dan bantuan kesehatan bagi pecandu (pemadat), AOV membangun rumah sakit dan klinik yang fokus pada penanganan masalah ketergantungan candu. Upaya ini tidak bisa dilakukan AOV tanpa donasi dan begitulah tampaknya cara AOV menjaga keberlangsungan lembaganya. Pada 1917, AOV membuka Asosiasi rumah sakit anti madat (Anti-Opium Hospital Vereeniging) di Kawasan manga dua Jakarta saat ini, yang dahulu masih bernama Jacatraweg, setelah berhasil mengumpulkan dan menerima donasi lebih dari 15 ribu gulden.
Pada enam bulan pertama, rumah sakit ini telah menerima dan menangani 342 pecandu. Sayangnya, donasi yang diterima dan dikelola hanya cukup untuk pengelolaan biaya rumah sakit selama 1 tahun. Pemerintah kolonial pun menolak memberikan bantuan dana. Pada akhirnya, rumah sakit ditutup. Selanjutnya, organisasi AOV tetap menjalankan operasional layanan melalui sumbangan dan donasi serta berjejaring dan bekerja sama dengan organisasi anti-candu lain dan memberikan layanan rujukan ke rumah sakit. AOV berhasil mengumpulkan sumbangan sebesar 40 gulden setiap bulannya.
Dengan usaha itu, AOV berhasil mendirikan klinik di dua tempat, yakni Pasar Senen dan Jacatraweg, serta membiayai penanganan pecandu candu di rumah sakit lain. Pada tahun 1930, AOV mengucurkan 4200 gulden untuk membantu penanganan terhadap 500 pecandu lalu pada tahun 1932, 9 warga negara Belanda, lebih dari 1500 warga Tionghoa, dan lebih dari 500 pribumi menerima layanan rehabilitasi, tuturnya.
Di samping rumah sakit, AOV juga membuat fasilitas pendukung pemulihan pecandu, seperti Roemah Pertemoean di Pasar Senen dan Roemah Singgah di Jatinegara. Pada layanan itu, para pasien menjalankan kegiatan secara berkelompok, mulai dari membaca, diskusi kelompok, atau berlatih dan berolahraga. Selain dikembangkan untuk mencegah kekambuhan, layanan tersebut juga berupaya mendukung dan memfasilitasi mantan pecandu untuk melakukan resosialisasi dan mendapatkan kehidupan yang “normal” ke masyarakat luas.
Lalu, AOV juga menyisihkan 20 persen anggarannya untuk melakukan edukasi dan meningkatkan pengetahuan warga mengenai dampak buruk candu. Pertama, AOV memberikan ceramah-ceramah dan mengunjungi sekolah-sekolah. Kedua, AOV menerbitkan media komunikasi informasi dan edukasi seperti buku, leaflet melalui kerja sama dengan media “Bacaan Rakyat” (Volkslectuur). Serta ketiga, AOV menyelenggarakan parade anti-candu, pekan anti-candu, dan kampanye lainnya.
Di tanah jajahan Inggris tersebut, gerakan anti-candu menengarai candu yang beredar secara masif di wilayah mereka menguntungkan dan melanggengkan pemerintahan kolonial. Maka dari itu, AOV turut berpartisipasi dan bahkan menjadi pemangku kebijakan dalam pergerakan nasional anti-kolonial di Malaysia dan Tionghoa. AOV memberdayakan seluruh akses terhadap saluran politik yang dibuka pemerintah kolonial. Mereka tidak secara langsung menunjukan sikap anti terhadap pemerintah dan kolonial. Tetapi, yang jelas, AOV telah berkontribusi dalam upaya mengampanyekan pesan bahwa penggunaan candu (madat) adalah masalah kesehatan masyarakat,\” tuturnya.[7]
bersambung.. Sejarah Narkotika Chapter 4
[1] Candu to Java – Ketika Jawa dilamun Candu, https://serbasejarah.wordpress.com/2011/04/18/candu-to-java-ketika-jawa-dilamun-candu/, diakses Oktober 2021
[2] Sejak abad 17, orang Jawa sudah nyandu, https://amp.kompas.com/news/read/2008/03/30/1627512/~Kesehatan~Kesehatan%20Pria~Lifestyle?amp=1&page=2, diakses oktober 2021
[3] Candu menguntungkan penjajah dan mengapa ia ditentang, https://tirto.id/candu-menguntungkan-penjajah-dan-mengapa-ia-ditentang-cNim, diakses pada oktober 2021
[4] Sumarmo masum, Penanggulangan bahaya narkotika dan ketergantungan obat (Jakarta; CV Haji Masagung, 1987)
[5] Husein Abdulsalam, Candu menguntungkan penjajah mengapa ia ditentang, https://tirto.id/candu-menguntungkan-penjajah-dan-mengapa-ia-ditentang-cNim, diakses oktober 2021
[6] Ibid
[7] Ibid.
Publikasi: Ashefa Griya Pusaka