Sejarah Narkotika di Indonesia #Chapter5 - Ashefa Griya Pusaka

Sejarah Narkotika di Indonesia #Chapter5

Sejarah-narkotika-indonesia-chapter-5
Share on:

Generasi Bunga; Seks, Drugs dan Rock n Roll?

Pergeseran trend penggunaan napza pasca kemerdekaan dan revolusi terjadi berbarengan dengan situasi politik global yang memanas.Perang Vietnam yang terjadi pada tahun 1960an menjadi pemicu terjadinya protes dari kalangan remaja. Pada tahun 1961, Negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-bangsa menyepakati UN Single Convention tentang narkotika termasuk Indonesia yang turut menandatangani perjanjian tersebut.

UN Single convention dibentuk dengan tujuan pengaturan zat-zat yang masuk dalam klasifikasi narkotika. Perjanjian ini pula yang menjadi landasan dalam semangat “war on drugs” yang dipelopori oleh Amerika Serikat kala itu. Deklarasi perang yang diusung oleh Negara Paman Sam itu tidak lepas dari situasi politik yang terjadi. Gelombang protes dari hampir seluruh kalangan mulai dari musisi, remaja dan seniman lainnya akibat perang Vietnam dan wajib militer yang diterapkan mempengaruhi gaya hidup dan tekhnik protes dan demonstrasi yang dilakukan.

Generasi

Protes dengan mengusung gaya hidup cinta damai dan sederhana dilakukan secara massif menciptakan sebuah generasi yang dikenal dengan nama Generasi Bunga (Flower Generation). Slogan yang dikampanyekan oleh para hippies[1] make love not war\tergambar jelas dalam  gaya hidup bebas yang diterapkan (seks, narkotika dan musik), dari gaya hidup inilah muncul istilah “sex, drugs and rock n roll

Generasi Bunga uumnya didominasi oleh individu usia produktif  di bawah 30 tahunan yang hidup di akhir era 1960an hingga pertengahan 1970. Demam flower generation turut menular hingga ke Indonesia kala itu. Musik-musik seperti The Beatles, Jimi Hendrix, Rolling Stones, The Doors dan lain-lain menjadi theme song dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengaruh dari musisi tersebut menjadi referensi bagi beberapa musisi di tanah air antara lain The Rollies, Apotik Kali Asin (AKA), The Peels dan Lemon Trees.

Ganja dan LSD kala itu merupakan jenis narkotika yang merajai gaya hidup para hippies. Kedua jenis narkotika ini yang termasuk dalam golongan hallucinogen  diyakini bisa menciptakan imajinasi dan perspektif \’mendamaikan\’ bagi pengguna. Awalnya pemuda dan remaja di Indonesia hanya meniru sebatas dandanan, cara berpakaian dan musik yang didengarkan, namun pada akhirnya tidak cukup hanya sebatas itu, gaya penggunaan narkotika juga turut diadopsi.

Morfin, ganja dan LSD kala itu menjadi momok bagi para orang tua dan pemerintah. Menurut berita yang ditayangkan oleh Kompas pada 10 juli 1975, jumlah pengguna narkotika di Indonesia mencapai lebih dari 5000 orang dan terus meningkat hingga pada akhir 1976 sudah mencapai lebih dari 10.000 orang. Kematian akibat overdosis dan penularan penyakit akibat penggunaan jarum suntik secara bergantian dan perilaku seks beresiko merupakan contoh dampak buruk yang terjadi kepada pengguna narkotika saat itu.[2]

Trend jenis narkotika yang digunakan tidak lepas dari maraknya peredaran gelap narkotika di tataran global. Maraknya penyelundupan narkotika kala itu melalui jalur internasional ditengarai dapat diindikasikan dengan tingginya kasus pemalsuan paspor. Mengingat situasi saat itu gaya hidup di kalangan usia dibawah 30 tahun umumnya “berkiblat” ke gaya hidup yang berasal dari Amerika serikat. Sosok panutan yang “terlihat keren” dari luar negeri pun menjadi faktor pendukung dari lahirnya generasi bunga ala Indonesia kala itu. Penggunaan narkotika saat itu umumnya dilihat dari perspektif moral dan agama yang diasumsikan merupakan akibat dari perceraian orang tua (broken home), berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas atau mungkin minimnya perhatian orang tua yang menyebabkan anak terjerumus “pergaulan bebas”.

Genderang Perang mulai Ditabuh

Upaya menentang penggunaan dan penjuaan candu secara legal telah mulai dilakukan sejak masa sebelum kemerdekaan hingga pada tahun 1961, negara-negara yang tergabung dalam perserikatan bangsa-bangsa menyepakati UN Single Convention termasuk Indonesia, dimana kesepakatan tersebut melarang produksi dan penyediaan narkotika jenis tertentu diluar kebutuhan medis..

Latar belakang pemberantasan dan penanggulangan  narkotika eserta instansi yang bertanggung jawab di Indonesia diawali pada tahun  1971 saat disahkan dan dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 yang ditujukan kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) untuk mengatasi dan menanggulangi beberapa permasalahan nasional yang menonjol antara lain pemberantasan uang palsu, penanggulangan narkotika, penyelundupan, kenakalan remaja, subversi dan pengawasan orang asing.

Berdasarkan Inpres tersebut Kepala BAKIN membentuk Badan Koordinasi Pelaksanaan Instruksi Presiden (Bakolak Inpres) yang  tugas pokoknya  adalah menanggulangi bahaya narkotika. Instansi ini adalah sebuah unit atau badan koordinasi yang terdiri dari perwakilan departemen terkait seperti Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain, yang secara struktural berada di bawah koordinasi dan bertanggung jawab kepada Kepala BAKIN. Unit ini tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan operasional dan tidak memiliki anggaran tersendiri dari ABPN melainkan dianggarkan berdasarkan kebijakan BAKIN.

Dalam era itu, fenomena penggunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia belum menjadi prioritas utama dan Pemerintah melihat dan optimis bahwa permasalahan narkotika di Indonesia tidak akan mengalami peningkatan secara signifikan.

Upaya pemberantasan narkotika mulai digelar oleh apparat penegak hukum, hal ini dapat dilihat dari dokumen sejarah pada tahun 1976, Kepolisian RI melakukan operasi besar-besaran dalam rangka memberantasan penyalahgunaan narkotika melalui satu Operasi yang disebut “Operasi Gurita” pada bulan April – juni 1976,[3] sayangnya operasi ini dinilai kurang efektif dikarenakan Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengancam pelaku peredaran gelap dan pengguna narkotika dengan pidana penjara.

Bermula dari upaya tersebut, Pemerintah Republik Indonesia menindaklanjuti pembentukan kebijakan penanggulangan narkotika dengan meratifikasi UN Single convention ke dalam Undang-undang No. 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika 1961 beserta protocol yang merubahnya dan pembentukan Undang-undang No. 9 tahun 1976 tentang Narkotika.

Pandangan yang awalnya melihat Indonesia hanya sebagai tempat transit dan penggunaan narkotika di Indonesia tidak akan meluas ternyata tidak sesuai dengan fakta yang ditemukan di lapangan. Pada era generasi bunga awal tahun 1970an hingga tahuhn 1990an penggunaan narkotika semakin merebak ke berbagai kalangan mulai dari kelas ekonomi menengah ke atas hingga kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sampai pada puncaknya di tahun 1996-1997an, jenis narkotika yang banyak digunakan oleh remaja usia produktif kala itu yakni heroin (putaw).

Dalam upaya mengatasi permasalahan narkotika yang meningkat secara signifikan, Pemerintah Bersama DPR Menyusun dan  mengesahkan Peraturan perundang-undangan sebagai upaya menguatkan undang-undang tahun 1976 melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan Peraturan perundang-undangan tersebut, Presiden saat itu mendirikan sebuah badan yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan masalah penanggulangan narkotika bernama  Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) melalui Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999.

BKNN dipimpin oleh Kapolri secara ex-officio, hingga tahun 2002 BKNN belum memiliki sumber daya manusia dan pembiayaan tersendiri. Sumber daya pembiayaan terbesar untuk badan ini bersumber dari anggaran Polri saat itu, hal ini menyebabkan tidak optimalnya pelaksanaan tugas koordinasi dan upaya penanggulangan narkotika secara komprehensif.

BKNN sebagai sebuah unit kerja koordinasi dinilai sudah tidak memadai untuk mengatasi dan menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika yang semakin meluas. Pada tahun 2002, Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 17 tentang Badan Narkotika Nasional, sejak saat itu fungsi dan tugas BKNN diganti dengan Instansi bernama Badan Narkotika Nasional (BNN). Sebagai sebuah lembaga yang bertugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi yang antara lain mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkotika dan mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkotika.

Sejak tahun 2003 BNN memiliki sumber dana pembiayaantersendiri melalui  APBN. Dengan tingginya dukungan pemerintah pusat melalui sumber daya pembiayaan tersebut, BNN semakin gencar meningkatkan performa kerjanya bersama dengan BNP di tingkat provinsi dan BNK di tingkat kabupaten/kota.

Sebagai respon dari situasi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia yang semakin meningkat maka melalui Sidang Umum MPR Republik Indonesia  Tahun 2002 memberikan rekomendasi melalui DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan rekomendasi tersebut, Pemerintah dan DPR-RI menginisiasi pembentukan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas Undang-undang No. 22 tahun 1997. Butuh penanganan tepat penyalahgunaan NAPZA? Klik disini


[1] Sebutan untuk orang-orang yang menerapkan gaya hidup dengan mengusung pesan cinta damai, kesederhanaan hidup, berpakaian warna warni dengan mendengarkan jenis music rock psychedelic, menggunakan narkotika yang umumnya jenis hallucinogen (LSD / Ganja
[2] Martin sitompul, Awal invasi narkotika ke Indonesia, https://historia.id/urban/articles/awal-invasi-narkotika-ke-indonesia-vo1y2/page/2, November 2021
[3] Martin sitompul, awal invasi narkotika ke Indonesia, https://historia.id/urban/articles/awal-invasi-narkotika-ke-indonesia-vo1y2/page/1, November 2021

Publikasi: Ashefa Griya Pusaka

Scroll to Top