Trauma Bisa Menyebabkan Kecanduan Narkoba, Bagaimana Hubungannya? - Ashefa Griya Pusaka

Trauma Bisa Menyebabkan Kecanduan Narkoba, Bagaimana Hubungannya?

trauma penyebab kecanduan narkoba
Share on:

Sudah banyak dilakukan penelitian jika kecanduan narkoba dan trauma sering kali berjalan beriringan. Bagaimana sebenarnya hubungan antara pengalaman traumatis dan penyalahgunaan narkoba? Simak penjelasan lengkapnya berikut ini.

Hubungan Trauma dan Kecanduan Narkoba

Hubungan antara trauma dan kecanduan narkoba sangatlah kompleks dan memiliki banyak segi. Trauma dapat merujuk pada peristiwa apa pun yang menyebabkan tekanan emosional atau cedera fisik, seperti pelecehan, penelantaran, kecelakaan, atau bencana alam. Kecanduan narkoba di sisi lain, adalah suatu kondisi kronis dan seringkali melemahkan di mana seseorang secara kompulsif mencari dan menggunakan obat-obatan atau alkohol meskipun ada konsekuensi negatifnya.

Trauma dapat menyebabkan perubahan pada bagian otak yang mengatur emosi dan respons stres, seperti amigdala dan hipokampus. Perubahan-perubahan ini dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap penggunaan narkoba atau alkohol sebagai mekanisme penanggulangan untuk mematikan emosi atau ingatan yang menyakitkan.

Selain itu, trauma juga dapat berkontribusi pada faktor sosial yang meningkatkan risiko kecanduan, seperti isolasi sosial atau kemiskinan. Seseorang yang mengalami trauma juga lebih mungkin mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan, yang selanjutnya dapat menghambat proses pengobatan dari kecanduan.

Penelitian terbaru juga menyoroti potensi peran perubahan epigenetik dalam menghubungkan trauma dan kecanduan. Modifikasi epigenetik adalah perubahan kimiawi pada DNA yang dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Lingkungan dapat memicu modifikasi ini, yang menyebabkan perubahan pola ekspresi gen yang meningkatkan risiko kecanduan.

Dalam salah satu contoh sejarah yang menyedihkan, para veteran Perang Vietnam yang pulang dengan gejala PTSD ditemukan memiliki tingkat gangguan penggunaan narkoba yang tinggi dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang bukan pejuang. Fenomena ini menjelaskan hubungan antara peristiwa traumatis dan kecanduan, sehingga menginspirasi penelitian lebih lanjut tentang bagaimana trauma masa kanak-kanak juga dapat berdampak pada kerentanan seseorang menggunakan narkoba di kemudian hari.

Ketika seseorang mengalami trauma, otaknya melepaskan hormon stres seperti kortisol yang mengaktifkan respons “lawan atau lari” tubuh. Hal ini dapat menyebabkan perubahan kimiawi otak yang memengaruhi cara otak memproses kesenangan dan penghargaan. Narkoba seperti alkohol, opiat, dan obat stimulan dapat meningkatkan kadar dopamin, neurotransmitter yang berhubungan dengan kesenangan, memberikan bantuan sementara dari perasaan cemas atau depresi yang disebabkan oleh trauma.

Ada beberapa alasan mengapa seseorang yang pernah mengalami trauma mungkin beralih ke narkoba sebagai mekanisme kopingnya. Misalnya, penggunaan narkoba dapat menjadi pelarian dari kenangan traumatis atau menghilangkan emosi yang menyakitkan. Beberapa orang mungkin juga memandang penggunaan narkoba sebagai cara untuk merasa memegang kendali atau mengelola gejala kecemasan atau depresi.

Menariknya, penelitian menunjukkan bahwa tidak semua seseorang yang mengalami trauma mengalami kecanduan. Faktor-faktor seperti genetika, lingkungan, dan kumudahan akses terhadap narkoba memainkan peran penting dalam menentukan apakah seseorang akan mengonsumsi narkoba setelah mengalami trauma.

Jenis Jenis Trauma

Trauma dapat berdampak besar pada kehidupan kita, dan penting untuk memahami berbagai jenis trauma serta pengaruhnya terhadap tubuh dan pikiran kita. Ada berbagai bentuk trauma, termasuk trauma fisik, emosional, dan psikologis yang semuanya itu ada dampaknya terhadap kehidupan kita.

  • Trauma fisik mengacu pada cedera tubuh apa pun akibat kecelakaan, cedera, atau kekerasan. Hal ini dapat menyebabkan gangguan fisik jangka panjang seperti nyeri kronis, kecacatan, atau bahkan kematian.
  • Trauma emosional adalah penderitaan yang melampaui pengalaman manusia pada umumnya dan melampaui kemampuan seseorang untuk mengatasinya. Trauma jenis ini sering kali muncul akibat peristiwa seperti bencana alam atau tragedi pribadi.
  • Trauma psikologis berkaitan dengan berbagai bentuk peristiwa traumatis yang berujung pada perubahan emosi dan perilaku yang menghancurkan bagi penyintas. Ini mungkin termasuk pengalaman masa kanak-kanak seperti pengabaian atau pelecehan, penyerangan atau pelecehan seksual, kematian mendadak karena bunuh diri atau pembunuhan.

Meskipun kebanyakan orang bisa pulih seiring berjalannya waktu setelah pengalaman traumatis, beberapa orang mungkin sebaliknya, seperti mengonsumsi narkoba atau alkohol untuk menghilangkan rasa sakit emosional atau perasaan cemas akibat pengalaman tersebut. Perlu dicatat bahwa pengalaman trauma setiap orang adalah unik berdasarkan faktor-faktor seperti demografi, usia, dan gender.

Pengaruh Trauma pada Otak

Sebagai manusia, kita mengalami berbagai bentuk trauma sepanjang hidup kita. Peristiwa traumatis ini dapat berdampak signifikan pada kesehatan mental dan fisik kita. Salah satu area di mana trauma mempunyai dampak besar adalah otak kita.

Otak kita adalah organ yang sangat kompleks yang mengendalikan segala sesuatu mulai dari pikiran, emosi, perilaku hingga fungsi tubuh kita. Trauma memicu respons neurobiologis di otak kita dan mengubah fungsinya. Hal ini mempengaruhi respons psikologis dan perilaku kita lama setelah peristiwa tersebut terjadi.

Trauma berakar pada mekanisme bertahan hidup kuno yang membantu kita merespons dengan cepat dalam situasi berbahaya. Faktanya, penting bagi manusia untuk bereaksi secara naluriah terhadap potensi ancaman. Namun, mengalami trauma dapat menyebabkan perubahan kimia otak sehingga meningkatkan risiko terjadinya beberapa gangguan kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, kecanduan, dan PTSD.

Fenomena penggunaan narkoba atau alkohol sebagai bahan pemati rasa bukanlah hal baru. Seseorang yang telah melalui peristiwa traumatis mungkin merasa bahwa narkoba adalah satu-satunya pelarian mereka dari kenyataan, sehingga memungkinkan mereka melupakan kekhawatiran mereka dan menemukan kelegaan sementara dari rasa sakit. Mekanisme penanggulangan seperti ini bekerja dengan menciptakan reaksi kimia di otak yang memberikan perasaan bahagia dan euforia sesaat.

Trauma mempengaruhi seseorang secara berbeda, dan salah satu efek samping yang umum adalah gangguan kemampuan pengambilan keputusan. Mereka yang memiliki riwayat trauma lebih cenderung membuat keputusan impulsif, kesulitan mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang, dan kesulitan mempertahankan pengendalian diri.

Ada berbagai alasan di balik gangguan kemampuan pengambilan keputusan pada mereka yang memiliki riwayat trauma. Salah satu faktor penting adalah terganggunya perkembangan otak normal yang disebabkan oleh stres dan paparan peristiwa traumatis yang berkepanjangan. Gangguan ini dapat menyebabkan perubahan kimiawi otak, sehingga mengakibatkan kesulitan pada fungsi kognitif, termasuk keterampilan mengambil keputusan. Selain itu, aktivasi respons stres yang terus-menerus dapat menyebabkan disregulasi emosi, sehingga menyulitkan seseorang untuk mengelola emosinya dan pada akhirnya membuat keputusan yang tepat.

Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki riwayat trauma mungkin mengalami penurunan aktivitas di area otak yang bertanggung jawab untuk pengambilan keputusan, seperti korteks prefrontal. Penurunan aktivitas ini dapat menyebabkan mereka lebih bergantung pada pengambilan keputusan yang impulsif daripada mempertimbangkan pilihan secara cermat.

Mengobati Kecanduan Narkoba Karena Trauma

Dalam menangani trauma dan kecanduan narkoba, tidak ada pendekatan yang bisa diterapkan untuk semua orang. Setidaknya ada tiga metode berbeda yang telah terbukti efektif dalam menangani kedua kondisi tersebut. Yang pertama adalah terapi perilaku kognitif untuk penyalahgunaan narkoba dan trauma, yang akan membantu seseorang mengenali pola pikir berbahaya dan menggantinya dengan mekanisme penanggulangan yang sehat.

Kedua, ada terapi perilaku dialektis, yang secara bersamaan membantu orang dalam mengatur emosi, mengelola hubungan, dan mengurangi perilaku berbahaya. Terakhir, adalah apa yang dinamakan metode Desensitisasi dan Pemrosesan Ulang Gerakan Mata (EMDR).

Terapi Perilaku Kognitif

Terapi Perilaku Kognitif untuk Penyalahgunaan narkoba dan trauma adalah pendekatan efektif untuk menangani seseorang yang mengalami kecanduan dan pengalaman traumatis. Jenis terapi ini berfokus pada modifikasi pola pikir, keyakinan, dan perilaku negatif yang berkontribusi terhadap penggunaan narkoba dan dampak trauma masa lalu.

Terapi Perilaku Kognitif bekerja dengan mengidentifikasi pemicu yang mengarah pada penggunaan narkoba dan mengatasi masalah emosional mendasar yang terkait dengan trauma masa lalu. Ini membantu seseorang mempelajari keterampilan mengatasi emosi negatif, keinginan mengidam, dan pemicu stres lainnya tanpa menggunakan obat-obatan atau alkohol. Dengan mengubah pikiran dan perilaku negatif melalui teknik restrukturisasi kognitif, seseorang dapat mengatasi penyalahgunaan narkoba sekaligus mengelola gejala trauma mereka.

Terapi Perilaku Kognitif untuk penyalahgunaan narkoba dan trauma menggunakan teknik seperti terapi pemaparan, di mana seseorang menghadapi kenangan traumatisnya di lingkungan yang aman. Selain itu, terapi ini menggabungkan intervensi berbasis kesadaran seperti meditasi atau latihan pernapasan yang berfokus untuk menjadi lebih sadar akan pikiran, perasaan, dan sensasi dengan cara yang tidak menghakimi.

Selama sesi Terapi Perilaku Kognitif, pasien didorong untuk membicarakan masalah mereka secara terbuka dengan terapis yang memberi mereka strategi perilaku untuk pemecahan masalah. Pengetahuan yang diberikan selama sesi terapi perilaku kognitif membantu mereka merespons secara lebih efektif dibandingkan secara reaktif dengan mengenali cara berpikir yang destruktif.

Terapi Perilaku Dialektis

Terapi Perilaku Dialektis (DBT) adalah terapi yang dirancang untuk membantu seseorang mengelola gejala yang terkait dengan disregulasi emosional, trauma, dan gangguan kecanduan yang terjadi bersamaan. Berikut enam poin yang menggambarkan manfaat DBT dalam mengobati gangguan yang terjadi bersamaan:

  • Adalah pendekatan pengobatan komprehensif yang menangani berbagai aspek kehidupan masyarakat.
  • Membantu seseorang memperoleh keterampilan baru untuk mengelola emosi yang meluap-luap, mengurangi perilaku berisiko tinggi, dan menghindari tindakan menyakiti diri sendiri.
  • DBT menggabungkan sesi terapi individu dan kelompok.
  • Menggunakan berbagai teknik seperti perhatian, analisis perilaku, dan toleransi terhadap tekanan untuk mendorong penyembuhan.
  • Membantu orang dalam mengembangkan hubungan yang sehat dengan meningkatkan komunikasi dan efektivitas interpersonal.
  • Penelitian telah menunjukkan bahwa DBT efektif dalam mengobati beberapa jenis gangguan mental.

DBT menggunakan berbagai teknik yang berfokus pada pengaturan emosi dengan lebih baik, mencegah peningkatan perilaku destruktif sekaligus mengembangkan mekanisme penanggulangan yang sehat. Manfaat utama dari terapi ini terletak pada penyediaan alat yang dibutuhkan oleh orang-orang yang memiliki kondisi yang bersamaan, tidak hanya untuk pulih tetapi juga menjaga kesehatan mental mereka seiring berjalannya waktu.

EMDR

Desensitisasi dan Pemrosesan Ulang Gerakan Mata, juga dikenal sebagai EMDR, adalah pengobatan psikoterapi yang biasanya digunakan untuk mengobati gejala gangguan stres pascatrauma (PTSD). Namun teknik ini juga terbukti efektif dalam membantu pecandu yang menderita PTSD.

EMDR bertujuan untuk membantu seseorang memproses dan mengatasi pengalaman traumatis dengan merangsang gerakan mata bilateral atau bentuk rangsangan bilateral lainnya seperti ketukan tangan atau rangsangan audio. Fokus ganda ini tampaknya meningkatkan pemrosesan informasi dan membantu otak mengintegrasikan ingatan dan emosi yang menyusahkan dengan ingatan dan emosi yang lebih adaptif. EMDR diyakini bekerja dengan menyambungkan kembali jaringan saraf di otak melalui proses neuroplastisitas.

Perlu dicatat bahwa meskipun para peneliti belum sepenuhnya memahami mengapa dan bagaimana EMDR bekerja, banyak penelitian telah menunjukkan efektivitasnya dalam mengobati gangguan terkait trauma termasuk depresi, kecemasan, dan kecanduan. Selain itu, hal ini dapat membantu seseorang mengurangi ketergantungan mereka pada narkoba atau alkohol saat mereka mengatasi trauma yang mendasarinya.

Salah satu aspek manfaat EMDR adalah klien tidak perlu menceritakan pengalaman traumatis mereka secara rinci karena sebagian besar proses terjadi secara tidak sadar. Alih-alih menghidupkan kembali pengalaman traumatis pada tingkat sadar, klien diminta untuk fokus pada gambaran jelas tertentu, keyakinan negatif, dan sensasi tubuh yang terkait dengan peristiwa masa lalu mereka saat menjalani stimulasi bilateral.

Publikasi: Ashefa Griya Pusaka

Scroll to Top