Apa itu Trauma Bonding – Pengertian, Gejala dan Penanganan - Ashefa Griya Pusaka

Apa itu Trauma Bonding – Pengertian, Gejala dan Penanganan

trauma bonding 1
Share on:

Setiap menit, sekitar 24 orang menjadi korban pelecehan dalam hubungan, termasuk pemerkosaan, kekerasan, dan banyak lagi. Tahun demi tahun, kekerasan saja telah menimbulkan jutaan korban. Trauma fisik dan mental biasanya diakibatkan oleh pasangan yang kasar. Meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan tidaklah mudah, dan sering kali orang tetap bertahan karena berbagai alasan. Bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan dikenal sebagai trauma bonding. Selami lebih dalam terkait trauma bonding, termasuk gejala dan penanganan.

Apa itu Trauma Bonding?

Fenomena trauma bonding semakin banyak dijumpai di media sosial dan berita dalam beberapa tahun terakhir, dan hal ini lebih umum terjadi daripada yang mungkin disadari orang. Trauma bonding adalah fenomena di mana otak mencari hubungan yang penuh kekerasan. Sesuai dengan namanya, ini adalah ikatan dengan seseorang yang terjadi melalui trauma. Trauma bonding paling sering terjadi dalam hubungan romantis, tetapi juga bisa terjadi dalam hubungan dengan orang tua dan juga persahabatan dengan teman dekat.

Kita mungkin melihat hubungan yang terikat trauma dalam kasus berikut: Pengasuh atau anak yang kasar’ Hubungan sandera-penculik, Hubungan yang kasar di antara teman atau kolega.

Tanda-tanda trauma bonding bisa meliputi:

  • Membenarkan penyalahgunaan yang dilakukan pelaku
  • Melindungi orang yang melakukan kekerasan
  • Mengisolasi, terutama dari orang yang berusaha membantu
  • Menjadi defensif ketika seseorang mengungkit pelecehan atau mencoba membantu
  • Tidak ingin meninggalkan situasi tersebut

Trauma bonding bukanlah hubungan yang sehat dan bukan pula cinta sejati. Dalam hubungan yang sehat, seseorang harus merasa aman dan percaya diri. Dengan trauma bonding, seseorang sering kali merasa negatif terhadap dirinya sendiri, disertai perasaan takut dan cemas.

Hubungan yang sehat melibatkan:

  • Menghormati
  • Keselamatan dan keamanan
  • Memercayai
  • Mendukung
  • Akuntabilitas
  • Kesediaan untuk tumbuh dan mengatasi tantangan

Trauma bonding biasanya dibangun berdasarkan kendali. Namun, karena pelaku kekerasan seringkali membuat targetnya merasa bahwa mereka mencintainya dengan sikap penuh kasih sayang dan perhatian.

Ikatan trauma dapat mencakup trauma fisik dan juga trauma mental. Orang yang menderita trauma bonding mungkin tidak mengenalinya sebagai pelecehan dan menarik diri darinya. Mereka menyelami hubungan lebih dalam, memperkuat ikatan emosional dengan pelaku kekerasan, bukan memutuskannya.

Mengapa Trauma Bonding Terjadi?

Di permukaan, mungkin tampak tidak masuk akal bahwa setiap orang bisa menumbuhkan perasaan yang lebih kuat terhadap pelaku kekerasan. Ikatan tersebut menghasilkan cara otak memproses pola trauma dan penguatan positif. Sederhananya, Trauma bonding terjadi ketika otak yang disalahgunakan berfokus pada penguatan positif. Sebaliknya, otak meremehkan pelecehan apa pun, sehingga melebihi momen positifnya. Korban mulai salah mengira trauma yang ditimbulkan sebagai komponen cinta atau cinta itu sendiri.

Trauma bonding adalah jenis penguatan intermiten. Seseorang tidak mendapatkan imbalan setiap kali melakukan suatu perilaku. Namun, mereka kadang-kadang mengalaminya, tanpa dapat diprediksi, sehingga menyebabkan mereka mengulangi tindakan tersebut meskipun jelas ada kerugiannya.

Bagaimana Cara Kerja Trauma Bonding?

Ikatan trauma terjadi dalam jangka waktu yang lama, dan siklus pelecehan yang berulang inilah yang membuat korban merasakan hubungan emosional yang lebih kuat. Seiring berjalannya waktu, siklus tersebut memprogram ulang otak korban, dan mereka menoleransi pelecehan yang berulang atau meningkat, dan mengatakan pada diri mereka sendiri bahwa itu bukan masalah besar.

Korban membuat alasan atas perilaku kasarnya, menganggapnya sebagai hari yang buruk atau stres. Jika tidak, mereka secara salah berasumsi bahwa pelaku sedang dalam proses perubahan, dan tugas mereka adalah bersabar seiring dengan kemajuan pelaku, demikian alasan korban.

Tidak ada dua hubungan trauma bonding yang sama. Pelaku kekerasan mungkin menggunakan hal-hal berikut: Bom cinta, Kritik yang berlebihan, dan Pelecehan psikologis. Bom cinta dan pelecehan psikologis (gaslighting), adalah taktik pelecehan yang umum.

Dengan bom cinta, pelaku kekerasan sering kali membombardir pasangannya dengan kasih sayang dan pujian demi pelecehan. Dalam prosesnya, mereka menyalakan gas pada pasangannya. Gaslighting melibatkan membuat seseorang mempertanyakan kewarasan dan kenyataan mereka. Mereka membuat korban merasa seperti sedang membayangkan sesuatu. Akibatnya, korban mungkin merasakan hal berikut:

  • Kecanduan penguatan positif yang jarang terjadi
  • Kehilangan diri
  • Menyerahkan diri mereka pada keinginan pelaku

Ketika teman atau orang kepercayaannya menyebutkan pelecehan tersebut, korban membela pelakunya, sering kali memberikan alasan mengapa hal tersebut tidak terlalu buruk.

Trauma bonding dapat memengaruhi otak dengan mengubah tingkat neurokimia penting seperti dopamin dan oksitosin. Ketika zat kimia saraf ini tidak diatur, hal ini dapat menyebabkan kecanduan emosional, di mana seseorang dapat mengalami “keinginan” terhadap perasaan tertentu yang berasal dari siklus trauma bonding.

Hal ini juga dapat menyebabkan pemikiran yang membingungkan dan bertentangan hingga pada titik di mana seseorang mulai membenarkan dan merasionalisasi pelecehan tersebut. Selain itu, ikatan trauma dapat menyebabkan masalah yang mempengaruhi otak, antara lain:

  • Gangguan stres pasca trauma (PTSD)
  • Perkembangan penyakit kronis
  • Tekanan emosional
  • Disosiasi
  • Masalah tidur
  • Kelelahan mental atau “kabut otak”
  • Kilas balik

Mengapa Begitu Sulit untuk Melarikan Diri?

Orang mungkin berpikir bahwa yang dibutuhkan korban hanyalah melihat bukti. Misalnya, seorang teman atau kolega menunjukkan bahwa pasangannya melakukan kekerasan. Dengan mata terbuka, secara logis mereka dapat memutuskan untuk meninggalkan orang itu. Sayangnya, hal ini jarang sekali terjadi, dan korban sering kali tetap bersama pelaku.

Masalah mendasar dari trauma bonding adalah bahwa hal itu mengacaukan definisi cinta korban. Dalam pikiran mereka, cinta selalu melibatkan pelecehan yang tidak sehat, dan mereka mulai berpikir pelecehan adalah cinta. Sekalipun korban berhasil melarikan diri dari hubungan tersebut, kerusakan tetap terjadi. Mantan korban trauma bonding mungkin berpindah dari hubungan yang penuh kekerasan ke hubungan yang penuh kekerasan lainnya.

Bagaimana Mengatasi Trauma Bonding?

Bagaimana cara mengatasi trauma bonding yang sudah tertanam dalam-dalam? Solusinya mudah: terapi. Banyak orang dengan berbagai jenis trauma, tidak hanya korban dari hubungan trauma bonding, banyak mendapatkan manfaat dari mengikuti terapi. Melalui pengolahan trauma, korban dapat mengenali traumanya apa adanya. Kemudian, mereka dapat mempelajari teknik pengelolaannya.

Perawatan terapi dalam mengatasi trauma bonding mungkin mencakup beberapa atau semua hal berikut:

  • Terapi Perilaku Dialektis (DBT)
  • Desensitisasi dan Pemrosesan Ulang Gerakan Mata (EMDR)
  • Konsolidasi kembali kenangan traumatis

Dengan terapi, bukan hanya kesehatan pasien saja yang meningkat. Seseorang mempelajari tanda-tanda bahaya yang harus dihindari dalam suatu hubungan, sehingga jika mereka kembali mengalami situasi yang melecehkan, mereka tahu apa yang harus dilakukan.

Trauma bonding adalah sebuah siklus di mana korban dalam hubungan yang penuh kekerasan memperoleh perasaan yang lebih kuat terhadap pelaku kekerasan. Alih-alih melarikan diri dari situasi tersebut, korban salah mengira pelecehan sebagai cinta. Untungnya, terapi trauma dapat membantu seseorang mengevaluasi kembali dan melindungi dirinya dari pelecehan.

Publikasi: Ashefa Griya Pusaka

Scroll to Top