Jaminan rehabilitasi dan kewajiban rehabilitasi bagi pengguna narkotika
Fakta membuktikan bahwa, implementasi terhadap jaminan rehabilitasi dan kewajiban rehabilitasi bagi pengguna narkotika sampai saat ini masih cenderung tebang pilih. Proses hukum acara pidana yang cukup panjang berdampak terhadap proses penempatan tersangka pengguna narkotika ke dalam rehabilitasi. Proses penyelidikan, penyidikan yang memaksa tersangka untuk menjalankan penahanan di rumah tahanan dinilai memiliki dampak tersendiri bagi kesehatan fisik dan psikis seorang pengguna Narkotika.
Peraturan Perundang-undangan terkait Narkotika yang ada saat ini dinilai menyisakan pekerjaan rumah atas upaya perwujudan kepastian hukum mendapatkan hak rehabilitasi bagi tersangka pengguna narkotika. Tidak hanya di Indonesia, bahkan di tataran global pun setelah 50 tahun deklarasi dan semagat perang melawan narkotika tidak lantas mengurangi dan menekan jumlah pasokan dan penggunaan narkotika namun sebaliknya bahkan menciptakan pasar gelap besar-besaran yang berkontribusi pada kekerasan, memperbesar konflik, dan melahirkan korupsi.
Upaya penegakan hukum berbasis restoratif yang selama ini diwacanakan masih terkendala dengan pengaturan pemidanaan penjara dan pendekatan punitif dalam undang-undang yang berlaku. Sudah sangat banyak diskusi tentang upaya penempatan pengguna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi narkoba, mulai dari peraturan yang mewajibkan hingga pengaturan yang mencantumkan syarat untuk mendapatkan hak rehabilitasi.
Bentuk ketidakefektifan Pendekatan Punitif
Peraturan dan kebijakan narkotika dengan pendekatan punitif tidak secara signifikan menekan jumlah pengguna baru dan ketersediaan narkotika illegal di pasar gelap namun sebaliknya, pemenjaraan terhadap pengguna narkotika dan ketidakpastian hukum terhadap implementasi rehabilitasi bagi pengguna narkotika telah menciptakan serangkaian masalah baru yang antara lain:
- Epidemi kesehatan: Berdasarkan penelitian kesehatan pada pengguna narkotika pada tahun 2019, dampak fisik jangka panjang sering yang dialami pengguna narkotika adalah 13,1% gangguan jiwa. Kedua, penyakit menular seksual sebesar 6,8%; ketiga, hepatitis C adalah 5,8%; keempat, TBC adalah 3,0%. Penyakit lainnya adalah sirosis hati (1,5%), stroke (0,8%), jantung, kebocoran katup (0,2%), dan penyakit lain 14,6% (depresi, halusinasi, gangguan bipolar, berbagai bentuk kecemasan, dan kesulitan tidur).
- Prison Overcrowding: saat ini, berdasarkan sistem database pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bulan Mei 2020, dari total jumlah Tahanan dan Narapidana 229,679 orang, jumlah kasus Narkoba Pengguna (NKP) adalah 43,366 WBP sedangkan kasus Narkoba bandar/pengedar (NKB) adalah 84,025 WBP ditambah kasus anak dengan narkoba sejumlah 176 WBP. Jumlah tersebut dinilai sangat tinggi bila dibandingkan jumlah pengguna napza yang dikenakan tindakan untuk rehabilitasi oleh pengadilan. Over Capacity yang terjadi di Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebesar 74% dengan kapasitas Rutan/Lapas sebesar 132,494 orang, saat ini harus menampung 229,679 tahanan dan narapidana pada bulan mei 2020[1] merupakan tantangan tersendiri bagi setiap WBP untuk dapat menerima akses ke layanan kesehatan secara optimal.
- Kesenjangan Gender: Perempuan yang terlibat dalam ekonomi terkait narkoba menghadapi hukuman dan stigma yang tidak proporsional dan terlalu terwakili dalam sistem penjara.
Depenalisasi atau Dekriminalisasi
Selain pemenjaraan, Perundang-undangan Indonesia mengenal beragam jenis penahanan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang No. 8 Tahun 1981) dikenal bentuk tahanan rumah dan tahanan kota. Selain itu ada pula penangguhan penahanan dengan jaminan orang atau jaminan uang, pembantaran untuk tersangka/terdakwa karena kebutuhan medis, mekanisme rehabilitasi dalam kasus narkotika, dan diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Penahanan merupakan salah satu persoalan hukum klasik di Indonesia terutama berkaitan dengan banyaknya jumlah orang yang ditahan, jauh melebihi kapasitas ideal penjara. Ide untuk melakukan optimalisasi penggunaan alternatif pemidanaan selain pemenjaraan berkembang dalam diskusi virtual bertajuk ‘Quo Vadis Penahanan di Indonesia’ bersama sejumlah lembaga masyarakat penggiat reformasi sistem hukum dan Bappenas..
Bappenas menjelaskan bahwa arah pembangunan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) adalah menuju keadilan restoratif. Arah kebijakan ini seharusnya membawa konsekuensi pada pengurangan penahanan. Ia mengatakan alternatif penahanan dan pemidanaan perlu dioptimalkan sesuai peraturan perundang-undangan yang ada.
Berbagai penelitian menyatakan penjara sangat boros, mahal biaya, dan hanya sedikit berpengaruh terhadap tujuan pemidanaan. Pilihan pemidanaan lainnya haruslah yang efektif dan efisien serta berdampak positif pada korban dan masyarakat.
Alternatif pemidanaan denda menjadi prioritas para ahli hukum dan ekonomi (law and economic). Denda dianggap lebih menguntungkan masyarakat karena tidak menghabiskan banyak sumber daya sosial (social resource) seperti penjaga, makan, dan petugas rehabilitasi (Becker, 1968). Sekecil apa pun besaran uang denda yang dibayar kepada korban lebih baik daripada tidak memperolehnya.
Dalam perkara penyalahgunaan narkotika, alternatif pemidanaan berupa rehabilitasi untuk penyalah guna narkotika juga perlu diutamakan. Tindakan atau Penghukuman dalam bentuk rehabilitasi dapat mengurangi penghuni rutan dan lapas secara signifikan. Dengan kapasitas Rutan/Lapas sebesar 132,494 orang saat ini harus menampung 229,645 tahanan dan narapidana. Sebanyak 56,71% penghuni rutan dan lapas terjerat kasus narkotika yang terdiri dari bandar/pengedar sejumlah 86,312 dan pengguna sejumlah 43,933.[2] Over Capacity yang terjadi di Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebesar 73%..
Payung hukum rehabilitasi sebenarnya sangat kuat karena diatur pada undang-undang maupun kesepakatan antara Mahkamah Agung (MA), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, kejaksaan, kepolisian, dan Badan Narkotika Nasional. Ironisnya, pengguna narkotika lebih sering dituntut dan dijatuhi hukuman penjara. Berdasarkan catatan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) terhadap 427 putusan pengadilan di DKI Jakarta, setidaknya terdapat 90 persen pengguna narkotika yang dijebloskan ke penjara.[3]
Salah satu alternatif solusi dalam menangani situasi dan masalah yang masih ditemui di lapangan bagi pemenuhan hak rehabilitasi terhadap tersangka pengguna narkotika antara lain depenalisasi, dekriminalisasi atau mungkin pengaturan mengenai penggunaan narkotika itu sendiri sebagaimana pengaturan mengenai alkohol di Indonesia. Ketiga alternatif solusi itu akan dibahas lebih lanut dalam artikel berikutnya
Proses Depenalisasi
Depenalisasi adalah sebuah upaya menghilangkan ancaman pidana dari suatu kejahatan yang diancam dengan pidana penjara. Upaya ini hanya menghilangkan atau mengganti bentuk pemidanaan yang umumnya dikenal melalui penjara ke dalam bentuk dan pendekatan lain seperti melalui pendekatan perdata, sanksi administrasi, kerja sosial atau rehabilitasi. Hal yang perlu diketahui dari proses depenalisasi adalah upaya ini tidak menghapuskan esensi dan sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan (penyalahgunaan narkotika).
Pengaturan terkait penyalahgunaan narkotika saat ini di Indonesia, dinilai sesuai dengan definisi dari depenalisasi yang disampaikan diatas. Undnag-undang Narkotika mengatur perihal hak rehabilitasi bagi tersangka penyalahguna narkotika, bahkan dalam pasal 128 Undang-undang narkotika terdapat penghilangan unsur penuntutan pidana dengan syarat tertentu.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengaturan mengenai hak rehabilitasi dan upaya menggantikan pidana penjara adalah belum tegasnya upaya depenalisasi yang dilakukan khusus bagi penyalahguna dan pengguna narkotika. Ketentuan pidana dalam Undang-undang Narkotika masih turut mencantumkan penyalahguna sebagai bagian dari tindak pidana yang diancam penjara minimal 4 tahun. Pasal 111 dan 112 masih menggunakan unsur “menyimpan, memiliki, dan menguasai” sebagai tindak pidana yang sudah pasti dilakukan oleh kategori pecandu atau pengguna narkotika.
Di dalam upaya depenalisasi terdapat kecenderungan untuk memberikan dan merujuk suatu perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana kepada kelembagaan tertentu seperti lembaga anak, lembaga kesehatan dan lainnya. Rehabilitasi yang dimaksud dalam Undang-undang narkotika itu sendiri, tidak hanya terbatas pada aspek pendekatan medis namun termasuk juga pendekatan sosial, keagamaan dan pendekatan alternatif lainnya.
Penerapan “double track system” yakni pendekatan 2 jalur dalam proses acara pidana bagi kategori pecandu atau pengguna narkotika dimana selain terdapat ancama pidana penjara juga terdapat sanksi lain dalam bentuk rehabilitasi, dinilai berdampak terhadap implementasi rehabilitasi itu sendiri. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan terkait kewajiban menjalankan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Narkotika, terdapat definisi berbeda dalam pengaturan rehabilitasi dan pidana penjara bagi pengguna narkotika.
Pertama, kewajiban menjalankan rehabilitasi ditujukan bagi individu yang menyalahgunakan narkotika dan ketergantungan narkotika diluar proses hukum acara pidana yang berlaku. Artinya, setiap pengguna narkotika yang tidak sedang menjalani proses acara pidana, atau tidak sedang tertangkap memiliki kewajiban untuk menjalankan rehabilitasi dan melakukan lapor diri kepada institusi penerima wajib lapor, dan kewajiban ini tidak hanya mengikat individu pengguna narkotika, bahkan orang tua/wali pun turut memiliki kewajiban untuk membawa dan melaporkan anaknya yang menyalahgunakan narkotika ke rehabilitasi atau institusi penerima wajib lapor.
Kedua, Ketentuan pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 111, 112 atau 127 diterapkan saat penyalahguna narkotika berada dalam proses acara pidana, atau dalam hal ini penyalahguna narkotika tertangkap maka penegak hukum tunduk dan terikat dengan ketentuan pidana yang berlaku dan umumnya akan menerapkan pasal-pasal dengan ancaman pidana penjara.
Gencarnya semangat “war on drugs” yang digencarkan oleh Badan Narkotika Nasional akan sangat berdampak positif bilamana terdapat batas tegas yang membedakan antara “perang” yang dilakukan terhadap pengedar, bandar atau distributor dan “intervensi” yang dilakukan kepada pengguna penyalahguna narkotika.
Terdapat beberapa peraturan pelaksana sebagai turunan dari Undang-undang narkotika yang mengatur secara spesifik upaya dan proses depenalisasi kepada pengguna narkotika. Peraturan Pemerintah tentang wajib lapor, Peraturan Bersama 7 kementerian/lembaga tentang penempatan pecandu narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi, bahkan hingga peraturan di masing-masing Kementerian (POLRI, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kementerian Kesehatan, BNN, dll.). Namun dari keseluruhan peraturan dan peraturan pelaksana yang ada, pertanyaan yang timbul mengapa jumlah pengguna narkotika yang berada dalam lembaga pemasyarakatan masih jauh lebih banyak dibandingkan jumlah pengguna narkotika yang dirujuk ke lembaga rehabilitasi.
Beberapa unsur-unsur yang menjembatani proses depenalisasi di dalam peraturan perundang-undangan dinilai belum optimal dalam menjamin kepastian hukum bagi pengguna narkotika. Unsur-unsur tersebut antara lain:
- Pasal 54 Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
- Pasal 127 ayat (2) : Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
- Pasal 128 ayat (2) dan (3)
- Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.
- Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
Dilihat dari ketentuan pasal diatas bahwasanya, pihak-pihak yang tercantum dalam pasal-pasal yang mengatur upaya depenalisasi bagi pengguna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi dinilai masih sangat terbatas dan belum secara menyeluruh menyentuh seluruh kementerian/lembaga yang terkait dalam proses depenalisasi ini. Pihak terkait yang tercantum dalam pasal-pasal tersebut diatas yaitu:
- Pasal 54 : Kementerian Kesehatan untuk rehabilitasi medis dan Kementerian sosial untuk rehabilitasi sosial
- Pasal 127 ayat (2) : Hakim / Mahkamah Agung
- Pasal 128 ayat (2) dan (3) : Penuntut Umum (Jaksa)
Proses depenalisasi dari pidana penjara menjadi intervensi rehabilitasi membutuhkan ketegasan pengaturan dan kesamaan persepsi dalam melihat masalah ketergantungan narkotika sebagai sebuah masalah kesehatan. Optimalisasi proses depenalisasi tentunya harus dipahami oleh seluruh lini penegakan hukum sebagai sebuah proses yang komprehensif.
Dekriminalisasi dan Regulasi
Dalam istilah yang paling sederhana, dekriminalisasi adalah upaya penghapusan sebuah perbuatan yang awalnya merupakan perbuatan pidana, menjadi bukan tindak pidana. Mengutip dari Prof. J.E Sahetapy yang mengatakan bahwa dekriminalisasi terbagi menjadi dua. Pertama, dekriminalisasi yang dilakukan di level peraturan perundang-undangan artinya, tadinya suatu perbuatan pidana yang diatur dalam undang-undang, kemudian dilakukan perubahan/revisi dan perbuatan itu tidak lagi menjadi ketentuan pidana dan Kedua, dekriminalisasi pada tataran praktik. Peraturannya ada namun masyarakat sudah menganggap itu hal biasa dan bukan sebuah perbuatan pidana lagi. Contohnya, ketentuan pidana terhadap petugas medis yang memperlihatkan alat-alat kontrasepsi.
Kriminalisasi terhadap pengguna dan penyalahguna narkotika dimulai sejak semangat “war on drugs” dideklarasikan oleh Richard Nixon pada tahun 1961, yang kemudia diadopsi hampir oleh setiap negara di dunia termasuk Indonesia. Dapat dikatakan sebagai sebuah upaya kriminalisasi karena memang awalnya penggunaan atau penyalahgunaan narkotika bukan sebuah perbuatan pidana. Dalam artikel sejarah narkotika di Indonesia disebutkan bahwa, pada zaman hindia belanda perbuatan pidana terjadi pada saat pengepul opiat menjual produknya tanpa izin pemerintah dan bukan penggunaan narkotikanya.
Setelah berjalan lebih dari 60 tahun, kriminalisasi terhadap pengguna narkotika mulai ditinggalkan oleh beberapa negara di eropa termasuk amerika serikat sendiri sebagai negara yang mempelopori “war on drugs”. Terdapat fakta yang tidak dapat dibantah bahwa kriminalisasi terhadap pengguna narkotika dinilai sebagai salah satu penyumbang besar masalah kesehatan, sosial dan ekonomi, tingkat hunian lapas yang sudah melebih kapasitas, masalah kesehatan jiwa dan menjadi celah pemerasan dan korupsi oleh oknum. Dengan upaya dekriminalisasi terhadap penggunaan narkotika, upaya reformasi kebijakan narkotika dapat meminimalkan kontak antara pengguna narkotika dan sistem peradilan pidana, dan dapat meningkatkan hubungan mereka dengan sistem kesehatan dan sosial.
Namun, di samping pengakuan atas ketidakefektifan kriminalisasi dan dukungan untuk model alternatif, kita harus realistis dengan harapan kita tentang apa yang dapat dilakukan dekriminalisasi. Dekriminalisasi tidak berarti bahwa orang dapat membeli narkotika dimana saja atau di toko seperti halnya alkohol dan tembakau. Hanya peregulasian hukum yang bisa melakukan itu. Peraturan perundang-undangan, yang didukung oleh para pendukung kebijakan narkotika, termasuk aturan untuk mengontrol siapa yang dapat mengakses narkotika dan kapan, sebagai upaya melawan pasar gelap.
Manfaat dekriminalisasi
Dekriminalisasi mengubah cara kita berpikir tentang narkotika. Penggunaan narkotika tidak akan lagi diperlakukan sebagai sebuah masalah kriminal, melainkan masalah kesehatan dan sosial. Ini berarti bahwa alih-alih menangani narkotika melalui borgol, fokusnya adalah pada akar penyebab penggunaan narkotika, termasuk ketidakadilan yang berakar pada masalah jaminan kesehatan dan akses terhadap layanan kesehatan.
Dekriminalisasi terbukti dapat menghemat penganggaran pemerintah. Sebagian besar sistem peradilan mulai dari kepolisian, pengadilan hingga lembaga pemasyarakatan dipenuhi dengan kasus terkait narkotika. Seperti yang terlihat di negara lain yang menerapkan sistem dekriminalisasi seperti Portugal, upaya ini dapat menekan beban anggaran untuk sistem dan proses acara pidana. Mempertimbangkan kebutuhan untuk menangani masalah ketergantungan narkotika dan sumber daya kesehatan jiwa, anggaran yang dihemat dapat direalokasikan pada sektor lain yang mengedepankan aspek kesehatan dan sosial.
Dekriminalisasi mengurangi stigma. Pandangan negatif terhadap narkotika dan orang yang menggunakannya merupakan faktor utama dalam keengganan mengakses rehabilitasi, penularan penyakit, depresi, anti sosial dan krisis overdosis. Dengan membentuk kembali cara pandang keluarga, teman, dan profesi medis kita tentang narkotika, penggunaan dan penanganan penyalahgunaan narkotika dapat dibicarakan secara lebih terbuka dan jujur. Mengurangi stigma juga dapat mendorong pengguna narkotika untuk mengakses layanan kesehatan selayaknya masalah gangguan kesehatan pada umumnya tanpa khawatir akan ditangkap.
Dekriminalisasi adalah pengurangan dampak buruk. Meskipun beberapa orang takut bahwa dekriminalisasi dapat meningkatkan atau mendorong penggunaan narkotika, kekhawatiran ini sama sekali tidak didukung oleh bukti. Kita tahu dari puluhan negara, negara bagian dan kota yang telah menerapkan proses dekriminalisasi terhadap pengguna narkotika tidak mengalami peningkatan ecara signifikan, bahkan sebaliknya mengalami penurunan.
Dekriminalisasi juga menurunkan tingkat overdosis dan penyakit, sekaligus meningkatkan akses masyarakat ke layanan sosial dan perawatan kesehatan. Dengan demikian, model dekriminalisasi merupakan pendekatan dasar pengurangan dampak buruk, mengurangi dampak buruk yang dialami pengguna narkotika dengan menghilangkan atau meminimalkan sumber bahaya tersebut yaitu kriminalisasi. Misalnya, penghapusan catatan kriminal dan rekam jejak terkait dengan pelanggaran kepemilikan narkotika mendorong peluang bagi orang untuk mengakses pekerjaan.
Secara keseluruhan, gagasan dekriminalisasi bukanlah solusi tunggal yang sudah pasti efektif untuk setiap negara atas masalah pemidanaan penggunaan narkotika, namun ide dekriminalisasi merupakan salah satu langkah penting yang patut didiskusikan untuk mengedepankan pendekatan berbasis restoratif terhadap pengguna narkotika.
Upaya advokasi yang teah dilakukan selama ini menunjukan grafik yang positif pada upaya menjauhkan pengguna narkotika dari sistem acara pidana. Walaupun saat ini masih terkesan alternatif solusi bagi pengguna narkotika masih terbatas pada rehabilitasi, setidaknya upaya ini mulai menggeser paradigma tentang penggunaan narkotika sebagai sebuah masalah kesehatan.
Perlu diperhatikan bahwa dekriminalisasi tidak dapat berdiri sendiri tanpa diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan kesehatan, rehabilitasi, akses sosial ke masyarakat, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya. Pendekatan secara komprehensif membutuhkan komitmen dari seluruh pihak dari aspek apapun untuk melihat masalah penggunaan narkotika adalah masalah bersama yang memiliki dampak terhadap seluruh aspek kemasyarakatan.
[1] Ibid.
[2] Database pemasyarakatan bulan mei 2020, http://smslap.ditjenpas.go.id/public/krl/current/monthly/year/2020/month/5, diakses pada 14 juli 2020
[3] Choky Ramadhan, Inefektivitas penjara dan alternatif pemidanaan, http://mappifhui.org/2017/07/25/inefektivitas-penjara-alternatif-pemidanaan/, diakses pada 13 juli 2020
Publikasi: Ashefa Griya Pusaka