Upaya Mendekatkan Layanan Pemulihan ditengah Masyarakat
Intervensi Berbasis Masyarakat (IBM) adalah salah satu pendekatan rehabilitasi dalam bentuk minimal dan ambang batas rendah (low threshhold) yang berarti layanan tersebuh mudah diakses dan tidak membutuhkan banyak persyaratan untuk terlibat didalamnya. Masalah penyalahgunaan narkotika tidak hanya terjadi di kota‐kota besar sudah merambah sampai ke pelosok daerah. Sementara itu, ketersediaan dan daya tampung lembaga rehabilitasi yang dikelola Pemerintah maupun masyarakat terbatas. Masyarakat dapat berpartisipasi mendukung pemulihan penyalahguna narkotika.
Rehabilitasi narkotika merupakan serangkaian kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika yang selanjutnya disebut sebagai penyalahguna Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Secara umum masyarakat mengganggap bahwa pelayanan rehabilitasi narkoba dilaksanakan dalam bentuk rawat inap dan rawat jalan.Beberapa penyalahguna narkotika membutuhkan pelayanan rawat inap, khususnya yang mengalami gejala putus zat berat, gangguan kejiwaan, atau mereka yang tidak memiliki dukungan sosial yang memadai. Beberapa lainnya dapat diatasi dengan metode rawat jalan khususnya yang tidak memiliki gejala‐gejala yang tersebut di atas. Sementara sebagian besar lainnya tidak memerlukan pelayanan rehabilitasi intensif sebagaimana tersebut di atas melainkan cukup dengan pendekatan sederhana, praktis, singkat, yang dapat dilakukan oleh masyarakat terlatih.
Salah satu respon BNN dalam menanggulangi masalah penyalahgunaan Narkotika adalah dengan membentuk program atau disingkat Desa Bersinar, yaitu desa yang diupayakan memiliki kemampuan untuk mengatasi peredaran gelap dan penyalahgunaan Narkotika diwilayahnya secara mandiri,
Program IBM merupakan salah satu bentuk respon masyarakat terhadap layanan rehabilitasi minimal dalam kaitan dengan program P4GN terkait Desa Bersinar (Bersih Narkotika). Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam upaya meminimalisir masalah penyalahgunaan narkotika, karena memang masalah tersebut ada ditengah masyarakat dan upaya pencegahan dan penanggulangan terdekat juga ada di masyarakat itu seniri. Oleh karena itu, IBM adalah layanan yang sangat memungkinan untuk diterapkan diberbagai tatanan masyarakat melalui kegiatan penjangkaun, deteksi dini, edukasi dan pendampingan, serta rujukan sesuai tingkat keparahan dan kebutuhan penyalahguna narkotika.
IBM dikembangkan sebagai bagian dari upaya rehabilitasi narkotika yang dilaksanakan pemerintah dan masyarakat dengan tujuan memberikan intervensi pada tingkat sekunder dan tersier dalam konteks pencegahan, serta risiko rendah ringan atau yang membutuhkan layanan pasca rehabilitasi dalam konteks rehabilitasi.
Oleh karena IBM dilaksanakan di tingkat masyarakat, maka sasaran dari kegiatan‐kegiatan IBM adalah: (1) Penyalahguna narkotika, (2) Agen Pemulihan (AP), (3) Keluarga yang memiliki permasalahan terhadap gangguan penyalahgunaan narkotika pada salah satu anggota kaluarganya, (4) Masyarakat yang peduli dan berperan aktif pada rehabilitasi narkotika, serta (5) Perangkat desa atau pemerintah lokal sebagai sumber potensi tumbuh kembang IBM.
Secara garis besar ruang lingkup kegiatan IBM terdiri dari pembentukan IBM dan penyelenggaraan IBM. Pada awal pelaksanaan IBM maka AP melakukan kegiatan sosialisasi, pemetaan dan penjangkauan, dalam melaksanakan kegiatan ini AP bisa bekerja sama dengan petugas fasilitator dari BNNP/K dan aparat Desa/Kelurahan setempat. Sedangkan berkaitan dengan layanan, IBM dilaksanakan oleh AP dan terdiri atas beberapa rangkaian kegiatan yang dilakukan secara bertahap. Berdasarkan alur dibawah ini, rangkaian kegiatan IBM dilaksanakan dalam waktu 16 minggu, yaitu satu minggu pertama dilakukan untuk kegiatan skrining, 15 minggu lainnya untuk rangkaian kegiatan dari penerimaan awal sampai tahap bina lanjut.
Program penanganan penyalah guna narkotika yang berada dimasyarakat telah dikembangkan oleh Badan Narkotika Nasional melalui program yang sebelumnya telah di bentuk seperti Kebijakan Kota Tanggap Ancaman Narkotika dan Desa Bersinar.
Kebijakan Kota Tanggap Ancaman Narkotika (KoTAN) merupakan intervensi program P4GN berdasarkan kebutuhan wilayah yang dilakukan secara holistik integratif mencakup dimensi pembangunan manusia, infrastruktur, manajemen, kelembagaan, dan kebijakan dalam konteks kewilayahan oleh pemangku kebijakan baik di pusat maupun di wilayah. melalui Sinkronisasi dan Konsolidasi Program dengan para pemangku kepentingan di daerah untuk mendukung implementasi P4GN, pembentukan Penggiat P4GN melalui pengembangan kapasitas masyarakat untuk mendukung Kebijakan Kota Tanggap Ancaman Narkotika, salah satunya dengan fasilitasi rehabilitasi dan berpartisipasi aktif dalam program rehabilitasi.
Desa Bersinar adalah satuan wilayah setingkat Desa/Kelurahan yang memiliki kriteria tertentu dimana terdapat pelaksanaan program P4GN yang dilaksanakan secara masif, Desa/Kelurahan dapat dinilai keberhasilannya jika terdapat kegiatan Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) yang meliputi: terbentuknya Relawan Anti Narkotika dan Penggiat Anti Narkotika, adanya kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh Agen Pemulihan dengan didukung adanya fasilitas layanan rehabilitasi melalui Intervensi Berbasis masyarakat.
Posisi IBM dalam ruang lingkup Desa Bersinar merupakan intervensi dini di tingkat masyarakat baik untuk penyalahguna ataupun dampak penggunaan narkoba bagi masyarakat dilingkungan pengguna. Program ini diharapkan dapat membuka lebar akses masyarakat terhadap layanan rehabilitasi, yang mana sebelumnya terdapat tantangan dalam hal lokasi dan biaya untuk datang ke tempat rehabilitasi.
IBM fokus pada penanganan pengguna narkotika dengan risiko rendah dan pengguna narkotika yang membutuhkan layanan pasca rehabilitasi. Untuk penanganan kasus penyalahgunaan narkotika risiko rendah dan tinggi akan dilakukan melalui rujukan ke lembaga penyedia layanan rehabilitasi atau fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan kriteria inklusi yang ditetapkan dalam program ini, maka dapat dilihat bahwa IBM merupakan garda terdepan yang hadir ditengah masyarakat untuk memberikan pelayanan dan upaya pencegahan kepada pengguna narkotika, keluarga terdampak dan anggota masyarakat lainnya.
Hak atas Rehabilitasi
Walau dalam Penjara
Jaminan atas upaya rehabilitasi medis dan sosial sebagai salah satu tujuan Undang-undang tentang narkotika mengindikasikan permasalahan ini sepatutnya ditangani melalui perspektif kesehatan dengan meningkatkan kesadaran bagi orang tua dan pecandu untuk melaporkan diri dan mengakses layanan kesehatan dan/atau perawatan.
Bahkan tidak hanya sampai pada jaminan atas upaya rehabilitasi ketergantungan narkotikanya semata, Penjelasan pasal 56 ayat (2) uu narkotika turut mengamanatkan bahwa Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi Pecandu Narkotika pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan antara lain penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Kementerian Kesehatan. Pasal ini turut menjamin layanan kesehatan pada gangguan kesehatan yang timbul akibat penyalahgunaan narkotika seperti HIV/AIDS.
Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bulan Mei 2020 menunjukan bahwa dari total jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan sejumlah lebih dari 170 ribu orang, hampir 25% diantaranya adalah kasus Narkoba Pengguna (NKP) dan lebih dari 30% masuk kategori Narkoba bandar/pengedar (NKB)) dan masih ditambah dengan kasus anak dengan narkoba sejumlah 152 anak. Jumlah tersebut tentunya sangat berbeda jau bila disandingkan dengan jumlah pengguna narkotika yang diputus untuk menjalani rehabilitasi narkoba oleh pengadilan.
Upaya lain yang diterapkan oleh Pemerintah dalam menjamin hak atas kesehatan bagi pengguna napza adalah dengan mengadakan program rehabilitasi di dalam Lembaga pemasyarakatan yang tersebar di 68 Lembaga Pemasyarakatan di 27 Provinsi. Hal ini mengindikasikan bahwa, pemerintah telah melihat masalah penggunaan napza sebagai sebuah masalah kesehatan, namun belum optimalnya sistem hukum yang secara tegas menyatakan penggunaan napza adalah masalah kesehatan yang perlu ditangani dengan tindakan kesehatan.
Hak-hak seorang narapidana sebagaimana dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dalam ayat (1) disebutkan bahwa Narapidana berhak untuk (1) melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; (2) mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; (3) mendapatkan pendidikan dan pengajaran; (4) mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; (5) mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dll. Dalam Peraturan tersebut dicantumkan 2 jaminan hak bagi warga binaan pemasyarakatan atas perawatan jasmani/rohani dan pelayanan kesehatan yang layak, dimana implementasi layanan rehabilitasi napza merupakan salah satu bentuk dari hak tersebut.
Data status kesehatan yang ada dalam lembaga pemasyarakatan saat ini, menunjukan bahwasanya belum optimalnya pemenuhan hak atas kesehatan bagi Narapidana/WBP. Persentase perawatan dan rujukan keluar lapas masih sangat rendah bila dibandingkan dengan jumlah status kesehatan yang ada dalam UPT. Situasi ini sangat beresiko tinggi atas terjadinya angka penularan di dalam UPT serta dikhawatirkan semakin menambah beban pengeluaran atas biaya kesehatan
Diinisiasinya program rehabilitasi yang dtujukan bagi tahanan dan narapidana disebabkan oleh pertimbangan dalam memberikan jaminan terhadap hak atas layanan rehabilitasi narkotika sebagaimana tujuan dari Undang-undang Narkotika. Pada tahun 2018-2021 Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan mengeluarkan kebijakan yang berisikan tentang penetapan lebih dari 100 Unit Pelaksana Tekhnis (UPT) Pemasyarakatan sebagai salah satu penyelenggara layanan rehabilitasi dengan target tahanan dan narapidana yang mengikuti program rehabilitasi dalam penjara pada tahun 2018 sebanyak 6.000 orang.
Namun pada praktiknya, pelaksanaan layanan rehabilitasi narkotika yang digulrikan hanya diikuti oleh kurang dari setengah target yang ditetapkan. Pada tahun 2019 hingga tahun ini, Ditjenpas kembali melaksanakan program rehabilitasi di 68 UPT yang tersebar di 27 Provinsi dengan target WBP yang direhabilitasi sejumlah 42.380 WBP pembagian, 7800 WBP penerima layanan rehabilitasi medis dan 34.580 WBP penerima layanan Rehabilitasi sosial.
Berdasarkan potret efektivitas rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika di lembaga pemasyarakatan yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian, Data dan Informasi BNN RI terdapat perbedaan hasil antara penelitian yang dilaksanakan dengan hasil pengambilan data melalui hasil observasi, FGD dan wawancara. Skor akhir penelitian menunjukan hasil baik untuk 3 indikator yang dinilai, yakni sarana prasarana, kompetensi petugas dan pelaksanaan program rehabilitasi itu sendiri, namun dalam hasil observasi, FGD dan wawancara ditemukan beberapa persoalan antara lain, pertama pelaksanaan rehabilitasi tidak sesuai dengan kebutuhan dan tahapannya (skrining dan asesmen), serta dalam pencapaian target peserta rehabilitasi di UPT Pemasyarakatan yang ditunjuk tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan, Kedua, pelaksanaan program rehabilitasi di UPT Pemasyarakatan tidak tepat sasaran, karena sebanyak 92,45% peserta rehabilitasi bukan termasuk yang wajib direhabilitasi dan hanya terdapat 7,55% peserta rehabilitasi yang wajib direhabilitasi berdasarkan Undang-undang Narkotika (Pasal 127), Ketiga, kurangnya sosialiasasi tentang petunjuk pelaksanaan program rehabilitasi penyalahguna narkotika kepada para petugas di UPT Pemasyarakatan. Keempat, pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh Ditjen Pemasyarakatan terhadap pelaksanaan program rehabilitasi di UPT Pemasyarakatan belum menunjukan hasil yang optimal.
Situasi ini menunjukan perlunya perbaikan dan pendekatan dari sisi kesehatan terhadap penyalahguna napza dalam sistem hukum. Ancaman pemidanaan akan berdampak kepada kesehatan khususnya bagi pengguna napza itu sendiri atau bagi orang lain dengan risiko penularan yang tinggi.
Upaya Depenalisasi atau menggantikan pidana penjara dengan tindakan yang bertujuan restoratif bagi Pengguna Napza dinilai merupakan salah satu alternatif solusi di dalam upaya pemenuhan hak atas kesehatan. Upaya restoratif dalam bentuk jaminan atas rehabilitasi dan perlindungan terhadap hak atas kesehatan itu sendiri telah diatur dalam Pasal 55, 127 ayat (3) dan 128 Undang-undang Narkotika, walaupun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelumnya, namun tetap pasal tersebut dinilai tidak optimal dalam implementasinya.
Publikasi: Ashefa Griya Pusaka