Perbedaan Perawatan Gangguan Penyalahgunaan Narkotika Dalam Perspektif Gender dan  Orientasi Seksual - Ashefa Griya Pusaka

Perbedaan Perawatan Gangguan Penyalahgunaan Narkotika Dalam Perspektif Gender dan  Orientasi Seksual

Perbedaan Perawatan Gangguan Penyalahgunaan Narkotika Dalam Perspektif Gender dan  Orientasi Seksual
Share on:

Pria lebih banyak mengakses perawatan untuk gangguan penyalahguunaan narkotika. Namun, wanita lebih cenderung mencari perawatan untuk ketergantungan pada obat penenang seperti anti-kecemasan dan obat tidur. Meskipun secara historis pria lebih cenderung mencari perawatan untuk penyalahgunaan heroin, baru-baru ini terlihat peningkatan jumlah wanita yang mencari dan mengakses perawatan.

Gangguan penyalahgunaan zat berkembang secara berbeda untuk wanita daripada pria. Wanita sering kali memiliki riwayat penyalahgunaan zat-zat seperti kokain, opioid, ganja atau alkohol. Namun wanita yang mencari perawatan gangguan penyalahgunaan zat umumnya memiliki masalah masalah medis, perilaku, psikologis, dan sosial yang lebih parah dibandingkan pria. Ini dikarenakan  wanita menunjukkan perkembangan  gangguan yang lebih cepat dibandingkan saat mereka pertama kali menggunakan zat tersebut. Inilah sebabnya wanita lebih cepat mengembangkan ketergantungan.

Beberapa masalah unik yang dihadapi wanita yang menyalahgunakan narkotika berhubungan dengan siklus reproduksi mereka. Beberapa zat dapat meningkatkan kemungkinan infertilitas dan menopause dini. Penggunaan zat juga memiliki dampak negatif dalam masa kehamilan dan menyusui. Wanita hamil yang menggunakan obat-obatan, termasuk tembakau dan alkohol, dapat menularkan efek zat atau obat tersebut kepada janin mereka yang sedang berkembang dan membahayakan kesehatan. Demikian pula, ibu baru yang menyalahgunakan narkotika dapat menularkan efek narkotika kepada bayinya melalui ASI dan ini tentunya amat sangat membahayakan kesehatan bayi. (Lihat Penggunaan Zat Saat Hamil dan Menyusui)

Wanita yang  menyalahgunakan narkotika dalam jangka pendek cenderung lebih cepat mengalami kecanduan. Gejala putus obat juga mungkin lebih intens bagi wanita. Dalam beberapa kasus, wanita merespons secara berbeda dari pria terhadap perawatan tertentu. Misalnya, penggantian nikotin (penambal atau permen karet) tidak bekerja dengan baik untuk wanita seperti untuk pria. Mengingat perkembangan dampak penyalahgunaan narkotika pada wanita berbeda dari pada pria, maka diperlukan strategi perawatan yang berbeda.

Perawatan Gangguan Penyalahgunaan Narkotika pada Ibu hamil

Banyak ibu hamil atau ibu dengan anak balita memutuskan perawatan atau memilih tidak mengakses perawatan karena harus mengasuh anak; mereka mungkin juga takut bahwa pihak berwenang akan memindahkan anak-anak mereka dari pengasuhan mereka. Gabungan beban pekerjaan, perawatan anak, dan tanggung jawab keluarga lainnya, ditambah seringnya menghadiri perawatan penyalahgunaan zat atau obat terlarang amat sangat membebani wanita. Penting dicatat bahwa jika seorang ibu hamil mencoba untuk tiba-tiba berhenti menggunakan obat-obatan dan alkohol tanpa bantuan medis, dia dapat membahayakan kesehatan janinnya. Oleh karena itu, keberhasilan perawatan tergantung apakah perawatan dapat memberikan dukungan lebih atau memberikan program khusus untuk mengatasi tantangan wanita.

Sulit bagi setiap orang dengan gangguan penyalahgunaan zat untuk berhenti. Tetapi wanita khususnya mungkin takut untuk mendapatkan bantuan selama atau setelah kehamilan karena kemungkinan ketakutan hukum, stigma sosial dan kurangnya perawatan anak ketika. Wanita dalam perawatan seringkali membutuhkan dukungan untuk menangani beban pekerjaan, perawatan di rumah, perawatan anak, dan tanggung jawab keluarga lainnya.

Program khusus dapat membantu ibu hamil dengan aman menghentikan penggunaan narkoba dan juga memberikan perawatan pranatal. Jenis pengobatan tertentu telah menunjukkan hasil yang positif, terutama jika mereka memberikan layanan seperti penitipan anak, kelas pengasuhan anak, dan pelatihan kerja. Obat-obatan seperti metadon dan buprenorfin, dikombinasikan dengan perawatan yang dijelaskan di atas, dapat meningkatkan tingkat kesembuhan. Beberapa bayi masih memerlukan pengobatan untuk gejala putus obat. Namun, akan lebih baik untuk kesehatan bayi jika ibu minum obat pengobatan selama kehamilan daripada jika dia terus menggunakan opioid.

Wanita, hamil atau tidak, memiliki kebutuhan unik yang harus ditangani selama perawatan gangguan penyalahgunaan narkotika. Perawatan yang efektif harus memasukkan pendekatan yang mengenali perbedaan jenis kelamin dan gender, memahami jenis trauma yang kadang-kadang dihadapi wanita, memberikan dukungan tambahan untuk wanita dengan kebutuhan perawatan anak, dan menggunakan pendekatan berbasis bukti untuk perawatan wanita hamil. (Lihat Jenis Kelamin dan Gender Perbedaan Pengobatan Gangguan Penyalahgunaan Narkoba)

Masyarakat juga dapat membangun sistem pendukung untuk membantu perempuan mengakses perawatan sedini mungkin, idealnya sebelum hamil. Jika seorang wanita tidak dapat berhenti menyalahgunakan narkotika sebelum hamil, perawatan selama kehamilan meningkatkan kemungkinan memiliki bayi yang lebih sehat saat lahir.

Perawatan rawat jalan intensif, yang memberikan tingkat perawatan lebih tinggi daripada program rawat jalan tradisional tetapi tidak memerlukan tempat tinggal yang terstruktur, telah memberikan hasil positif bagi ibu hamil. Wanita hamil lebih mungkin untuk tinggal di program perawatan ini jika mereka menyediakan layanan seperti penitipan anak, kelas parenting, dan pelatihan kejuruan.

Pendekatan Perawatan Penyalahgunaan Narkotika yang Efektif

Terlepas dari banyak perbedaan antara pria dan wanita, selama bertahun-tahun sebagian besar penelitian secara tradisional menggunakan partisipan pria. Untuk mengetahui lebih lanjut pendekatan perawatan penyalahgunaan narkotika yang efektif berdasarkan perbedaan jenis kelamin dan gender, lembaga federal Amerika Serikat telah mengembangkan pedoman untuk mempromosikan inklusivitas perempuan dan analisis perbedaan jenis kelamin dan gender dalam penelitian.

Penelitian telah menunjukkan bahwa wanita sering menggunakan obat secara berbeda, merespon secara berbeda, dan memiliki hambatan unik untuk perawatan yang efektif, sesederhana tidak dapat menemukan penitipan anak, atau perawatan dengan obat-obatan yang belum diuji secara klinis pada wanita.

Banyak wanita dengan gangguan penyalahgunaan zat dan narkotika juga didiagnosis dengan gangguan kesehatan jiwa. Hal ini penting untuk dipahami karena hubungan diantara kedua gangguan tersebut dapat memperburuk kondisi pasien. Pasien yang memiliki gangguan penyalahgunaan zat dan gangguan kesehatan jiwa sering kali memiliki gejala yang lebih persisten, parah, dan resisten terhadap pengobatan dibandingkan dengan pasien yang hanya memiliki salah satu gangguan tersebut. Kedua gangguan harus dirawat pada saat yang sama untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan perawatan.

Dalam satu tahun terkhir, pria lebih mungkin dibandingkan wanita untuk melaporkan gangguan kesehatan jiwa dan penyalahgunaan zat. Sementara itu, wanita lebih mungkin menderita kondisi kesehatan jiwa tertentu, seperti depresi, kecemasan, gangguan stres pasca trauma dan gangguan makan. Beberapa wanita melaporkan alasan penyalahgunaan zat atau narkotika adalah untuk menghilangkan stres atau emosi negatif. Selain itu, wanita lebih rentan untuk mengembangkan penyalahgunaan zat atau gangguan kesehatan jiwa lainnya setelah perceraian, kehilangan hak asuh anak, atau kematian pasangan atau anak.

Perempuan, Kekerasan, dan Penyalahgunaan Zat

1 dari 3 wanita pernah mengalami kekerasan fisik di tangan pasangan intim, termasuk berbagai perilaku mulai dari menampar, mendorong, hingga tindakan berat seperti dipukul, dibakar, diperkosa, atau dicekik. Korban kekerasan memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk memiliki kondisi kesehatan kronis, termasuk obesitas, nyeri kronis, depresi, dan penyalahgunaan narkotika.

Sebagai pengakuan atas beratnya kekerasan terhadap perempuan dan perlunya strategi nasional untuk mengatasi masalah ini, pada tahun 1994 Kongres Amerika Serikat mengesahkan undang-undang Anti Kekerasan pada Wanita, dimana terdapat prosedur hukum untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku dan kemudahan akses layanan dan perlindungan kepada wanita korban kekerasan. Pada tahun 2013, Presiden Obama mengesahkan Undang-undang tersebut untuk memperluas jangkauan program kepada populasi yang sangat rentan.

Institute of Medicine dan U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF) telah merekomendasikan agar dokter dapat melakukan penilaian awal dan rujukan terhadap korban kekerasan interpersonal. Oleh karena itu, Undang-Undang Perawatan Terjangkau tahun 2010 (Bagian 2713) mengharuskan penyedia asuransi kesehatan mencakup semua layanan pencegahan yang direkomendasikan oleh USPSTF tanpa biaya. Namun, pedoman penilaian awal dan pencegahan yang lebih baik diperlukan untuk membantu dokter mengidentifikasi korban kekerasan yang membutuhkan bantuan dan menghubungkan mereka dengan perawatan yang dibutuhkan.

Penggunaan Narkotika pada Komunitas LGBTQ

Kecanduan dan penyalahgunaan narkotika dalam komunitas LGBTQ mempengaruhi ribuan orang di seluruh Amerika Serikat. Menurut survei 2013, minoritas seksual memiliki peluang lebih tinggi untuk memiliki gangguan penyalahgunaan zat dan narkotika daripada rekan-rekan heteroseksual mereka. Sebuah studi di tahun 2015 menunjukkan bahwa individu LGBTQ dua kali lebih mungkin menyalahgunakan zat dan narkotika ilegal. Statistik penyalahgunaan dan kecanduan narkotika di komunitas LGBTQ amat sangat mengkhawatirkan. Pada tahun 2015 tercatat sebesar 39,1% individu LGBTQ mengaku menyalahgunakan narkotika illegal. Sementara itu, mereka yang mengidentifikasi diri sebagai anggota LGBTQ juga lebih cenderung merokok dan minum alkohol.

Mengapa Begitu Banyak Individu LGBTQ Menyalahgunakan Narkotika ?

Stres adalah faktor utama  – Anggota komunitas LGBTQ menghadapi situasi stres tingkat tinggi setiap hari. Meskipun selama dua dekade terakhir terlihat kemajuan yang signifikan terhadap hak-hak LGBTQ, masih banyak individu komunitas LGBTQ menjadi korban prasangka sosial seperti stigma, penolakan, dan praktik diskriminatif dalam pekerjaan. Stres kronis menyebabkan tingkat kecemasan, depresi, ketakutan, dan agresi yang dapat meningkatkan risiko penyalahgunaan zat dan narkotika ilegal.

Mekanisme Keterampilan (Coping Mechanism)– Beberapa individu komunitas LGBTQ beralih ke tembakau, alkohol, dan narkotika illegal dengan pemahaman bahwa penyalahgunaan zat atau narkotika akan membantu mereka mengatasi lingkungan stress dan tekanan sosial yang mereka hadapi. Mengandalkan suatu zat atau narkotika ilegal untuk menangani stres dapat menyebabkan kecanduan.

Stimulan – Beberapa narkotika, seperti metamfetamin atau kokain, bertindak sebagai stimulan. Efek narkotika tipe ini kepada pengguna adalah meningkatkan energi, meningkatkan hasrat  dan kinerja seksual.

Merasa Lebih Baik Tentang Diri Sendiri – Depresi lazim terjadi di komunitas LGBTQ, jadi beberapa anggota beralih ke opioid atau obat lain untuk merasa nyaman dengan diri mereka sendiri. Narkotika dapat melepaskan dopamin dalam jumlah besar dalam sistem saraf, yang mana akan berdampak pada peningkatan perasaan percaya diri, kekuatan, dan euforia.

Dampak yang dihasilkan oleh pelepasan dopamin dalam jumlah besar dapat merusak saraf dan struktur otak yang terkait dalam sistem penghargaan. Perubahan saraf dan struktur otak, menghambat kemampuan pengguna untuk merasa baik tanpa bantuan narkotika. Inilah salah satu faktor penyebab kecanduan narkotika di komunitas LGBTQ.

Pilihan perawatan umum untuk gangguan penyalahgunaan narkotika terhadap individu komunitas LGBTQ diantaranya termasuk terapi kognitif-perilaku, manajemen kontingensi, terapi dukungan sosial, terapi dengan bantuan pengobatan, dan wawancara motivasi. Individu komunitas LGBTQ sering memiliki komorbid. Inilah sebabnya mengapa penelitian menunjukkan bahwa fasilitas rehabilitasi yang menawarkan perawatan khusus untuk individu komunitas LGBTQ dapat meningkatkan kesembuhan secara signifikan.

Individu komunitas LGBTQ telah memperoleh manfaat dari kemajuan sosial dan perlindungan hukum, tetapi masih banyak tantangan yang menghadang. Untuk individu transgender, tingkat dan faktor resiko kecanduan jauh lebih tinggi daripada individu komunitas LGBQ lainnya dan individu heteroseksual.

Ada sebanyak 25 juta orang transgender di seluruh dunia, tetapi bahkan di negara-negara berpenghasilan tinggi yang telah mengakui hak dan perlindungan transgender seperti Amerika Serikat (di mana ada sekitar 1,5 juta orang transgender), individu komunitas ini masih sering mengalami kendala dalam bidang perkawinan, pekerjaan, perumahan, dan kesehatan. Akibatnya, populasi transgender memiliki tingkat depresi dan gangguan kesehatan jiwa yang jauh lebih tinggi daripada populasi umum. Aliansi Nasional untuk Penyakit Jiwa menunjukkan bahwa individu trans jauh lebih rentan terhadap depresi dan gangguan kecemasan daripada populasi umum, terutama karena tingkat stress minoritas.

Stres minoritas adalah teori bahwa kesenjangan kesehatan di antara komunitas minoritas (apakah etnis, budaya, atau, dalam hal ini, orientasi seksual) biasanya disebabkan oleh stres yang disebabkan oleh friksi atau konflik antara nilai-nilai komunitas majoritas yang lebih dominan dengan nilai-nilai komunitas minoritas. Imigran, misalnya, sering mengalami tekanan minoritas karena adat dan bahasa negara asal mereka cenderung berbenturan dengan adat dan bahasa negara mereka yang baru; kerinduan bisa menjadi gejala stres minoritas. Bagi transgender yang hidup dalam budaya heteroseksual mayoritas, tekanan minoritas dapat berupa diskriminasi, viktimisasi, pelecehan, dan penganiayaan.

Pembahasan mengenai tingginya tingkat penyalahgunaan narkotika yang tidak proporsional oleh individu gay dan transgender menjadi topik yang saat ini fenomenal di beberapa negara eropa. Chemsex (telah dibahas dalam artikel sebelumnya), merupakan salah satu ancaman kesehatan masyarakat nyata yang perlu mendapatkan perhatian. Kebijakan yang diskriminatif khususnya bagi komunitas LGBT berdampak pada semakin tertutupnya komunitas dari masyarkat dan bahkan upaya mengakses layanan kesehatan. Hal inilah yang merupakan hambatan utama bagi kesehatan komunitas ini. Meskipun data tentang tingkat penyalahgunaan zat atau narkotika pada komunitas individu gay dan transgender jarang terdapat, diperkirakan antara 20% – 30 % individu gay dan transgender menyalahgunakan zat dan narkotika, dibandingkan dengan sekitar 9 % dari populasi umum.

Stres yang muncul dari tekanan sehari-hari menghadapi diskriminasi dan stigma adalah faktor utama meningkatnya penyalahgunaan narkotika. Individu gay dan transgender beralih ke tembakau, alkohol, dan zat atau narkotika sebagai cara untuk mengatasi tantangan. Kurangnya layanan perawatan kesehatan yang kompeten juga memicu tingginya tingkat penyalahgunaan narkotika di kalangan gay dan transgender. Untuk menurunkan angka ini, sistem perawatan kesehatan kita perlu lebih memenuhi kebutuhan individu gay dan transgender. Pemerintah kita pun perlu memajukan kebijakan publik yang mempromosikan kesetaraan bagi komunitas ini.

Metamfetamin kristal, lebih dikenal sebagai shabu, telah menjadi masalah kesehatan bagi komunitas LGBTQ sejak akhir 1990-an, ketika pria gay dan biseksual di New York City mulai menggunakannya sebagai afrodisiak. Saat ini, shabu adalah narkotika popular di komunitas LGBTQ muda karena pengguna secara keliru percaya bahwa shabu dapat membantu mereka bersenang-senang dan meningkatkan pengalaman seksual mereka. Statistik penyalahgunaan shabu dalam komunitas gay mengkhawatirkan. Di beberapa bagian negara Amerika Serikat, obat ini menyebabkan kekacauan di kalangan komunitas gay, terutama di kota-kota besar.

Mengapa Shabu Menjadi Sangat Populer Di Kalangan Remaja LSL?

Anda mungkin bertanya-tanya mengapa shabu sangat populer di kalangan remaja LGBTQ.  Untuk memahami itu, sebaiknya dipahami dulu beberapa hal tentang shabu itu sendiri. Shabu adalah tipe narkotika yang bertindak sebagai stimulan. Setelah seseorang menggunakannya, shabu dengan cepat mencapai konsentrasi tinggi di dalam otak, di mana ia merangsang pelepasan dopamin dan norepinefrin. Akibatnya, pengguna merasa euforia, penekanan nafsu makan, lebih banyak energi, dan kinerja seksual yang lebih baik. Secara psikologis, shabu dapat meningkatkan  rasa percaya diri, kekuatan, kekebalan, dan meningkatkan hasrat seksual penggunanya.

Inilah sebabnya mengapa remaja di komunitas LGBTQ melihat sabu sebagai \”party drugs\”. Tapi shabu lebih berbahaya daripada yang terlihat. Efek shabu dapat bertahan hingga 12 jam, tergantung pada toleransi pengguna. Efek ini selalu diikuti oleh periode kelelahan, lekas marah, depresi, dan terkadang paranoia.

Remaja memiliki masalah lainnya dalam hal penyalahgunaan narkoba. Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2011, otak yang sedang berkembang lebih rentan terhadap penyalahgunaan narkotika daripada otak orang dewasa. Tampaknya penyalahgunaan narkotika selama masa remaja secara signifikan meningkatkan resiko kecanduan narkotika di kemudian hari.

Dampak buruk dari penyalahgunaan sabu salah satunya memberi pengguna perasaan palsu tentang penambahan energi, kekuatan dan kekebalan. Dikombinasikan dengan efek shabu yang mengurangi nafsu makan,  pengguna  dapat mengalami penurunan berat badan yang ekstrem. Efek lain termasuk insomnia, kecemasan, paranoia, kebingungan, dan halusinasi. Penyalahgunaan jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan permanen pada otak, hati, atau ginjal, kehilangan memori, peningkatan denyut jantung, kerusakan gigi parah, dan kemungkinan tinggi menderita stroke. Shabu juga merupakan salah satu tipe narkotika paling berbahaya karena pengguna sering mengalami overdosis. Pada tahun 2017, shabu bertanggung jawab atas sekitar 15 %  dari semua overdosis tipe narkotika.

Efek jangka panjang – Individu yang menyuntikkan shabu memiliki peningkatan resiko tertular penyakit menular seperti HIV, hepatitis B dan hepatitis C. Penyakit ini ditularkan melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh lain yang dapat tertinggal pada peralatan narkotika. Penyalahgunaan shabu juga dapat mengubah penilaian dan rasionalitas pengambilan keputusan yang berakibat pada terjadinya perilaku beresiko, seperti seks tanpa kondom, yang juga meningkatkan resiko infeksi penyakit HIV/AIDS.

Penyalahgunaan shabu dapat memperburuk perkembangan HIV/AIDS dan konsekuensinya. Studi menunjukkan bahwa HIV menyebabkan lebih banyak cedera pada sel saraf dan lebih banyak masalah kognitif pada individu yang menyalahgunakan shabu daripada pada individu yang memiliki HIV tapi tidak menyalahgunakan narkotika. Masalah kognitif yang dimaksud disini adalah keterhambatan proses berpikir, belajar, pemahamanan dan mengingat .

Penyalahgunaan shabu dalam jangka panjang memiliki banyak konsekuensi negatif lainnya termasuk: penurunan berat badan yang ekstrim, kecanduan, masalah gigi yang parah, gatal-gatal hebat, menyebabkan luka kulit karena garukan, kecemasan, perubahan struktur dan fungsi otak, kebingungan, hilang ingatan, insomnia, perilaku kekerasan, paranoia dan halusinasi. Selain itu, penyalahgunaan shabu yang terus menerus dapat menyebabkan perubahan pada sistem dopamin otak yang berhubungan dengan penurunan koordinasi dan gangguan pembelajaran verbal. Dalam penelitian terhadap individu yang menyalahgunakan shabu dalam jangka panjang, ditemukan kondisi kerusakan saraf dan otak di area yang terlibat dengan emosi dan memori.  Ini mungkin menjelaskan banyak masalah emosional dan kognitif yang muncul pada individu yang menyalahgunakan shabu.

Meskipun beberapa dampak dari kerusakan otak dapat pulih setelah berhenti menyalahgunakan shabu selama satu tahun atau lebih, dampak negatif lainnya mungkin tidak akan pulih bahkan setelah jangka waktu yang lama. Sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa individu yang pernah menyalahgunakan shabu memiliki peningkatan resiko penyakit Parkinson yaitu gangguan saraf yang mempengaruhi gerakan.

Publikasi: Ashefa Griya Pusaka

Scroll to Top