Sejarah Narkotika di Indonesia #Chapter6 - Ashefa Griya Pusaka

Sejarah Narkotika di Indonesia #Chapter6

Sejarah-narkotika-indonesia-chapter-6
Share on:

Rehabilitasi Narkoba Dalam Sejarah

Pada era pemerintahan hindia belanda, beberapa organisasi telah menyediakan layanan kesehatan khusus kepada para penghisap candu (pemadat). Organisasi anti candu yang tergabung dalam asosiasi rumah sakit anti madat atau yang dalam Bahasa belanda disebut Anti-Opium Hospitaal Vereeniging (AOV) membangun rumah sakit dan klinik yang fokus pada penanganan masalah ketergantungan candu.

Di samping rumah sakit, AOV juga membuat fasilitas pendukung pemulihan pecandu, seperti Roemah Pertemoean di Pasar Senen dan Roemah Singgah di Jatinegara. Pada layanan itu, para pasien menjalankan kegiatan secara  berkelompok, mulai dari membaca, diskusi kelompok, atau berlatih dan berolahraga. Selain dikembangkan untuk mencegah kekambuhan, layanan tersebut juga berupaya mendukung dan memfasilitasi mantan pecandu untuk melakukan resosialisasi dan mendapatkan kehidupan yang “normal” ke masyarakat luas.

AOV juga melakukan edukasi dan meningkatkan  pengetahuan masyarakat mengenai dampak buruk  candu. Beberapa strategi edukasi dan pencegahan seperti yang kita kenal saat ini antara lain memberikan ceramah (seminar) melalui sekolah atau Lembaga Pendidikan, melalui media Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) serta kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk mengampanyekan pesan bahwa penggunaan candu (madat) adalah masalah kesehatan masyarakat, tuturnya.[1]

Di masa pasca kemerdekaan, saat trend penyalahgunaan narkotika semakin meningkat, Pemerintah mulai mempertimbangkan bahaya laten yang mengancam generasi muda bilamana tidak ada upaya rehabilitatif atau pengobatan bagi penyalahguna narkotika. Pada tahun 1971 Presiden Indonesia Kedua menetapkan Indonesia Darurat Narkoba. Berdasarkan penetapan itu pula maka pada tahun 12 April 1972 di komplek Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan atas prakarsa Gubernur DKI Jakarta saat itu Alm. Ali Sadikin Bersama dengan dr. Herman Susilo (Ka. Dinkes DKI Jakarta), Prof. dr. Kusumanto Setyonegoro (Ka. Ditkeswa Depkes) dan bagian Psikiatri Universitas Indonesia dibentuk dan dioperasikannya Unit Ketergantungan Narkotika (Drug Dependence Unit)[2]. Unit ini  akhirnya berganti nama menjadi Lembaga Ketergantungan Obat (LKO) dan selanutnya di tahun 1978 status Lembaga ini  meningkat menjadi Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO).[3]

Selain Rumah Sakit Ketergantungan Obat, pada 31 Oktober 1974, Alm. Ibu Tien Soeharto meresmikan pendirian Rumwatik Pamardi Siwi yang difungsikan sebagai tempat penanganan anak nakal dan ketergantungan narkotika. Awal berdirinya Pamardi Siwi lebih diprioritaskan untuk tempat penahanan sementara bagi anak-anak dan wanita dewasa sebelum kasus diajukan ke pengadilan. Balai ini merupakan pilot project yang diinisiasi oleh Polda Metro Jaya  dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang notabene realisasi dari Badan Koordinasi Pelaksana Instruksi Presiden No. 6 tahun 1971.[4]

Yang tidak mungkin luput dari sejarah rehabilitasi narkotika di Indonesia adalah pelaksanaan rehabilitasi narkotika oleh Pesantren Suryalaya atau biasa dikenal Inabah. Kemasyhuran Inabah tidak hanya di dalam negeri saja, melainkan hingga dibukanya cabang Inabah di luar negeri yakni di kedah, Malaysia.

Rehabilitasi

Pesantren Suryalaya didirikan pada tahun 1905 oleh Syekh Abdullah bin Nur Muhammad bertempat di wlayah kabupaten tasikmalaya, Jawa Barat. Pada tahun 1971, banyak orang tua di daerah setempat yang menitipkan anaknya ke pesantren tersebut agar dibina dan dididik dari perilaku negatif yang dilakukan. Banyak para keluarga dan orang tua saat itu yang menitipkan anaknya karena merasa tidak sanggup mendidik anak-anaknya yang mayoritas memiliki masalah atas penyalahgunaan narkotika. Secara resmi Pondok Pesantren Suryalaya Inabah I berdiri dan dikembangkan pada tahun 1972. Pondok Inabah I didirikan atas prakarsa Sesepuh Pondok Pesantren Suryalaya yakni Abah Anom. Pesantren ini didirikan khusus untuk merehabilitasi para penyalahguna narkotika dengan basis Agama.[5] Hingga saat ini, Suryalaya tersebar di 12 cabang di dalam negeri di seputaran wilayah tasik dan ciamis dan di Malaysia khusus untuk remaja putra.

Program rehabilitasi dengan pendekatan metode yang terukur dan berbasis bukti yang sempat merajai metode rehabilitasi narkotika di Indonesia salah satunya adalah Therpeutic Community (TC). Pendekatan berbasis kelompok dengan seperangkat nilai dan norma yang diterapkan dalam keseharian secara terstruktur dinilai cukup efektif bagi para pengguna narkotika yang sering dicap buruk dan diberikan stigma sebagai “sampah masyrakat” (junkie).

Pendekatan rehabilitasi berbasis teori pembelajaran (Learning Model) yang mengusung beberapa teori seperti classical conditioning yang dicetuskan Ivan Pavlov, Operant Conditioning oleh BF Skiner dan lain lain memprioritaskan kemampuan para resident (pasien rehabilitasi) untuk mengambil makna dan pembelajaran yang disampaikan setiap harinya baik melalui tanggung jawab yang diberikan atau melalui sesi-sesi edukasi dan khususnya pendekatan kelompok.

Hingga saat ini Lembaga rehabilitasi telah tersebar hampir di seluruh pelosok tanah air, Rehabilitasi pemerintah, swasta, atau berbasis pendekatan alternatif dan Keagamaan pun sudah turut diatur melalui Undang-undang Narkotika. Fasilitasi penguatan Lembaga rehabilitasi yang disampaikan oleh Pemerintah kian berkembang. Pendekatan rehabilitasi tidak lagi terfokus pada salah satu metode saja, melainkan pendekatan komprehensif sesuai kebutuhan klien penerima layanan.

Penanganan Penyalahguna Narkotika dalam Perspektif Undang-undang

Undang-undang Narkotika mengklasifikasikan orang yang menggunakan narkotika ke dalam 3 kategori, yaitu pecandu narkotika, penyalahguna narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Definisi yang berbeda dari masing-masing terminologi tersebut dapat berimplikasi pada penanganan hukum bagi yang bersangkutan.

Berdasarkan definisi yang tercantum dalam uu narkotika, Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan berada dalam kondisi kecanduan/ketergantungan Narkotika, secara fisik dan/atau psikis dan yang masuk termasuk sebagai Penyalahguna Narkotika adalah orang yang tanpa hak atau secara melawan hukum menggunakan Narkotika. Sedangkan korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika disebabkan  karena adanya unsur-unsur bujukan, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. [6]

Pada  jaman  Hindia  Belanda  telah  diterbitkan  Verdoovende  Middelen Ordonatie (V.M.O) Stbl. 1927 No.278 yang telah mengalami perubahan dan revisi yang kemudian dikenal dengan Ordonansi Obat Bius. Walaupun telah ada peraturan yang mengatur tentang permasalahan narkoba, namun secara kelembagaan belum dibentuk lembaga yang khusus untuk  menangani masalah narkoba, baik pada jaman penjajahan, maupun juga pada pemerintahan orde lama. Pemerintah Belanda melegalisasi penggunaan dan mengeluarkan izin kepada tempat-tempat yang disediakan untuk menghisap candu dan penjualan secara legal. Situasi ini berlangsung hingga Jepang masuk dimana peraturan tersebut dibatalkan dan diberlakukannya pelarangan pemakaian candu.

Pasca Kemerdekaan, Pemerintah Menyusun dan mengesahkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) yang memberikan kewenangan kepada Departemen Kesehatan.  Peraturan yang disusun tentunya  menitikberatkan pendekatan Kesehatan khususnya terhadap pengguna narkotika dan peredaran jenis narkotika untuk kepentingan medis sampai pada tahun 1970, masalah peredaran gelap dan penyalahgunaan bat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah besar dan berskala nasional, dalam merespon situasi ini Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk badan koordinasi pelaksanaan Instruksi Presiden tahun 1971.

Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang Narkotika mengatur berbagai hal khususnya tentang masalah peredaran gelap narkotika, kewajiban melakukan lapor diri bagi pengguna yang sudah cukup umur dan orang tua dari pengguna narkotika yang masih dibawah umur, selain itu turut diatur tentang upaya terapi dan rehabilitasi bagi korban narkotik, Peraturan tersebut juga  menyebutkan secara khusus peran dokter dan rumah sakit berdasarkan pendekatan kesehatan. Perspektif rehabilitasi yang diusung dalam aturan ini tidak menyebutkan secara spesifik pembagiannya ke ranah medis dan sosial, namun secara umum pendekatan rehabilitasi yang diatur dalam peraturan ini mengedepankan layanan komprehensif dalam program rehabilitasi bagi pengguna narkotika.

Perubahan Undang-undang No. 9 tahun 1976 menjadi Undang-undang No. 22 dan 5 tahun 1997, disebabkan oleh kasus peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika diluar kebutuhan medis yang semakin memprihatinkan. Booming kasus heroin (Putau) pada era 90an kala itu mengakibatkan  perubahan paradigma terhadap pengguna narkotika. Profil pengguna narkotika yang diidentikan dengan tindak kriminal, kekerasan, penularan penyakit dan kematian akibat overdosis berdampak pada pendekatan yang dilakukan. Undang-Undang tahun 1997 mencantumkan pengaturan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika baik pengedar, perantara hingga pengguna narkotika dengan pemberian sanksi pidana mulai dari penjara sampai yang terberat berupa hukuman mati. Pengaturan mengenai rehabilitasi mulai dibagi menjadi 2 pendekatan yakni medis dan sosial, walaupun tidak banyak perubahan atas aturan mengenai rehabilitasi terhadap pengguna namun fakta di lapangan menunjukan bahwa jumlah pengguna narkotika yang menjalani pemidanaan penjara jauh lebih besar daripada yang mendapatkan akses ke layanan rehabilitasi.

Genderang perang narkotika semakin ditabuh dengan disahkannya Undang-undang No. 35 tahun 2009 sebagai perubahan atas Undang-undang No. 22 tahun 1997. Konsep pemidanaan dan ancaman pidana yang diubah menjadi hukuman minimal menunjukan pendekatan represif terhadap hampir seluruh kasus kejahatan narkotika. Penerapan double track system[7] dalam undang-undang narkotika dinilai belum cukup optimal. Perbandingan jumlah pengguna narkotika yang tertangkap dan berakhir di Lembaga pemasyarakatan masih jauh lebih tinggi daripada yang mendapatkan hak untuk rehabilitasi, hal ini tentu berbanding terbalik dengan tujuan dalam Undang-undang ini yang salah satunya adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan social bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika[8].

Pratek Undang-undang Narkotika khususnya terhadap Penyalahguna narkotika sangat kental dengan landasan Teori Absolut/Teori pembalasan (Vergeldings Theorien). Berdasarkan teori ini hukuman pidana dijatuhkan hanya karena orang telah melakukan kejahatan. Teori ini didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak memiliki tujuan dan tanggung jawab atas perbaikan terhadap pelaku kejahatan namun lebih menitikberatkan pada tuntutan yang mengharuskan dilakukannya pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Pro kontra mengenai bagaimana cara menyikapi pengguna narkotika yang efektif tentunya harus dibarengi dengan landasan teori dan basis ilmiah mengenai teori ketergantungan narkotika. Kunjungi Ashefa Griya Pusaka untuk mendapatkan penanganan yang tepat.

Butuh bantuan rehabilitasi narkoba? Yuk konsultasi dengan Ashefa Griya Pusaka yang mudak di akses dari Bogor, Bandung, Jakarta, Medan, Bekasi, Surabaya, Palembang, Tangerang.


[1] Husein Abdulsalam, Candu menguntungkan penjajah mengapa ia ditentang, https://tirto.id/candu-menguntungkan-penjajah-dan-mengapa-ia-ditentang-cNim, diakses oktober 2021
[2] RSKO, Sejarah RSKO Jakarta, http://rsko-jakarta.com/sejarah, November 2021
[3] RSKO, 48 tahun RSKO Jakarta; Hidup dengan semangat baru di era new normal, http://rsko-jakarta.com/news/view/118, November 2021
[4] http://repository.maranatha.edu/4831/3/9530110_Chapter1.pdf, November 2021
[5] Nur Aini, Sejarah perkembangan pondok pesantren suryalaya inabah XIX Surabaya tahun 1986 – 2016, http://digilib.uinsby.ac.id/24124/7/Nur%20Aini_A72213139.pdf, November 2021
[6] Indonesia, Undang-undang tentang Narkotika No. 35 tahun 2009, LN No. 143 tahun 2009, TLN no. 5062 tahun 2009, Pasal 1 angka 13 dan 15
[7] istilah double track system yang bermakna adanya pemisahan antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan. Perkembangan sistem hukum inilah yang memperkenalkannya tindakan (maatregel) sebagai alternatif lain dari pidana pokok terutama pidana penjara.
[8] Indonesia, Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, LN No. 143 tahun 2009, TLN no. 5062 tahun 2009, Pasal 4 huruf d.

Publikasi: Ashefa Griya Pusaka

Scroll to Top