Fakta Fakta Menakutkan Konsumsi Ganja, Dari Depresi Hingga Otak Mengecil - Ashefa Griya Pusaka

Fakta Fakta Menakutkan Konsumsi Ganja, Dari Depresi Hingga Otak Mengecil

fakta menakutkan ganja
Share on:

Ganja tetap menjadi favorit perokok rekreasional. Ganja tidak dianggap merusak seperti jenis narkoba lain yang dibuat di laboratorium kumuh. Ganja bersembunyi di balik tampilan yang “alami”. Namun, kebiasaan ini dapat menyebabkan beberapa efek samping mulai dari depresi hingga penyusutan otak. Ada beberapa fakta menakutkan tentang ganja yang mesti diketahui!

Permen Lolipop Ganja dan Serangan Jantung

Pada tahun 2019, sebuah laporan medis mengungkapkan betapa berbahayanya permen lolipop ganja. Pasien yang terlibat adalah seorang pria lanjut usia, berusia 70 tahun, yang pernah merokok ganja di masa mudanya. Untuk mencari kenyamanan dari insomnia dan osteoartritisnya, dia memutuskan untuk mencoba ganja yang dapat dimakan. Itu adalah permen lolipop.

Ada perbedaan besar antara jenis normal dan jenis yang mengandung THC. Permen lolipop ganja mengandung 90 miligram THC, lebih dari 12 kali lipat jumlah THC dalam ganja biasa. Alih-alih membawa mimpi indah, bahan aktifnya malah memicu halusinasi yang menakutkan. Pria tersebut memiliki riwayat penyakit jantung, dan pengalaman tersebut memadukan hormon stres, denyut nadi yang meningkat, tekanan darah, dan kecemasan, yang menyebabkan serangan jantung.

Toleransi Nyeri Lebih Rendah

Di Colorado, dokter memperhatikan bahwa beberapa pasien trauma memerlukan obat penghilang rasa sakit dengan dosis lebih tinggi. Pemeriksaan lebih dekat mengungkapkan bahwa banyak dari mereka adalah pengguna ganja. Ini adalah fakta tidak biasa sebab ganja juga merupakan bahan untuk mengatasi rasa sakit.

Untuk mengetahui apa yang terjadi, para peneliti menganalisis kasus trauma di Colorado dan Texas. Penelitian ini melibatkan 260 orang, semuanya korban kecelakaan mobil serius pada tahun 2016. Sekitar 54 pasien baru-baru ini terpapar ganja, dan 16 orang mengaku menggunakannya setiap hari. Narkoba jalanan ilegal, termasuk kokain dan amfetamin, juga muncul di angka 9 persen.

Orang yang bebas narkoba diberi dosis harian 5,6 miligram obat opioid. Mereka yang hanya menggunakan ganja membutuhkan 7,6 miligram untuk menghilangkan rasa sakit. Penelitian lain di Colorado meneliti seberapa baik pasien luka bakar menangani rasa sakit. Temuannya serupa, perokok berat ganja membutuhkan lebih banyak obat opioid dibandingkan pasien yang tidak menggunakan opioid.

Melemahkan Kontrol Otot

Sebagian besar penelitian tentang ganja berfokus pada efek psikotropikanya, termasuk perubahan emosi dan halusinasi karena mengkonsumsinya. Pada tahun 2015, peneliti Spanyol bertanya-tanya tentang efek samping lain, yaitu gangguan keterampilan motorik. Beberapa orang kesulitan menelan, bernapas, atau berbicara dengan benar.

Untuk mengetahui alasannya, tim beralih ke tikus dan senyawa ganja sintetis. Idenya adalah untuk melihat bagaimana senyawa psikoaktif mempengaruhi sel-sel saraf yang disebut neuron motorik, yang kemudian bertanggung jawab untuk pergerakan otot.

Sel-sel saraf yang menjadi perhatian dalam penelitian khusus ini berada di lidah. Neuron motorik ini memerintahkan kontraksi otot selama berbicara, menelan, dan bernapas. Pengujian pada tikus menunjukkan bahwa bahan psikoaktif mengganggu komunikasi antar neuron, sehingga membuatnya kurang aktif. Hal ini mengakibatkan kelemahan otot.

Remaja Dan Depresi

Jika boleh dikatakan, kabar baiknya adalah bahwa merokok ganja pada masa remaja pada umumnya tidak dapat menyebabkan depresi. Sebuah survei internasional mengumpulkan data tentang orang dewasa yang mengalami depresi di Inggris dan Amerika Serikat. Ini adalah tinjauan menyeluruh terhadap 11 penelitian lain yang melibatkan ribuan remaja (yang menggunakan ganja) hingga dewasa.

Jika dibandingkan dengan bukan pengguna, mereka menunjukkan peningkatan upaya bunuh diri, kecemasan, dan depresi klinis. Setelah menghitung angka-angkanya, statistik menunjukkan akibat tragis ganja di kemudian hari. Para peneliti mengidentifikasi lebih dari 460.000 orang dewasa yang mungkin terhindar dari depresi seandainya mereka tidak pernah merokok ganja semasa kecil.

Alasan utama mengapa remaja sangat rentan adalah karena otak mereka masih dalam tahap perkembangan. Banyak reseptor otak tumbuh selama masa ini dan sensitif terhadap perubahan. Depresi yang sebenarnya dapat tumbuh dari reseptor yang biasanya menghasilkan serotonin yang membuat pengguna merasa nyaman, namun selalu bergantung pada bahan psikoaktif THC di dalam ganja.

Mengecilkan Otak

Pada tahun 2014, para peneliti di Texas meneliti 48 orang dengan penggunaan ganja. Orang dewasa ini mengikuti penelitian khusus untuk melihat apa yang dapat diperoleh dari pengguna ganja jangka panjang. Masing-masing memiliki riwayat kronis dengan ganja dan telah menggunakannya setidaknya tiga kali sehari selama satu dekade. Para relawan melakukan tantangan kognitif sambil memindai otak mereka. Hasilnya tidak menjanjikan.

Rata-rata, tes menunjukkan IQ lebih rendah dibandingkan non-pengguna. Sebagian otaknya juga menyusut. Disebut orbitofrontal cortex (OFC), wilayah ini mengatur pengambilan keputusan, peningkatan konektivitas saraf, dan kecanduan.

Penelitian ini juga menemukan bahwa otak berusaha memberikan kompensasi dengan meningkatkan koneksi antar wilayah lain. Integritas struktural otak juga meningkat. Namun, setelah sekitar enam tahun penggunaan ganja, konektivitas khusus ini kembali menurun.

Fading Effect Bias

Pikiran manusia memiliki mekanisme menarik yang disebut “Fading Effect Bias” atau bias efek memudar. Para peneliti menyamakannya dengan sistem kekebalan emosional. Ini memudarkan perasaan yang terkait dengan ingatan tetapi menghapus hal-hal negatif lebih cepat daripada perasaan baik. Tujuannya bisa untuk meningkatkan kesehatan mental. Jika manusia menahan setiap emosi buruk, bebannya akan menjadi terlalu berat.

Pada tahun 2018, sebuah penelitian menemukan sesuatu yang meresahkan. Penggunaan ganja dalam jumlah besar tampaknya menghalangi bias tersebut. Akibatnya, para relawan yang mengonsumsi ganja setidaknya empat kali seminggu memiliki lebih banyak kesan negatif seputar ingatan mereka. Mereka juga menggambarkan kenangan indah mereka dalam istilah umum dan bukan sebagai peristiwa spesifik.

Menariknya, kedua ciri tersebut juga terlihat pada orang yang menderita depresi. Seperti banyak penelitian mengenai ganja, menemukan jawaban pasti bisa jadi rumit. Studi tersebut mengidentifikasi hubungan antara narkoba dan depresi dan menemukan bahwa hal itu membuat bias bahagia menjadi agak terganggu.

Sindrom Misterius

Mual hebat dan sakit perut disertai rasa pusing dan kram perut yang parah. Gejala yang hanya hilang dengan mandi air panas atau berendam. Penyakit misterius ini tidak secara resmi dikaitkan dengan ganja sampai tahun 2004 ketika penyakit ini dinamakan cannabinoid hyperemesis syndrome (CHS).

Kondisi ini masih kurang dipahami, terutama karena begitu banyak pengguna yang tidak menghubungkan gejala mereka dengan ganja. Bahkan para profesional medis tidak selalu dapat mengenali kondisi ini, dan masih belum jelas senyawa apa dalam ganja yang mungkin menyebabkan sindrom ini.

Namun, pada tahun 2018, sebuah survei besar menetapkan bahwa penggunaan jangka panjang ganja adalah pemicunya. Temuan yang paling mengejutkan adalah betapa umum sebenarnya CHS. Bertentangan dengan keyakinan sebelumnya bahwa kondisi ini jarang terjadi, perkiraan baru menunjukkan dua juta kasus di Amerika Serikat saja.

Tidak ada obat yang diketahui selain mengucapkan selamat tinggal pada ganja. CHS benar-benar hilang begitu seseorang menghentikan kebiasaan mengonsumsi ganja, namun akan kembali lagi bila ia mengguankannya lagi.

Tautan Psikosis

Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa konsumsi ganja dikaitkan dengan orang yang mengalami psikosis untuk pertama kalinya. Kondisi psikotik ditandai dengan ketidakmampuan memisahkan realitas dari khayalan. Termasuk mendengar dan melihat hal-hal yang tidak nyata.

Pengguna ganja berat empat kali lebih berisiko terkena skizofrenia, kelainan yang memengaruhi kejernihan mental. Rata-rata pengguna juga menghadapi peluang dua kali lipat terkena gangguan psikotik dibandingkan seseorang yang tidak pernah merokok.

Kaitan utama antara psikosis dan ganja adalah kandungan bahan kimia “tinggi” tanaman yaitu tetrahydrocannabinol (THC). Para peneliti yakin hal ini terjadi karena THC meniru gejala psikotik, yang bisa membuka pintu menuju monster sebenarnya.

Ketika THC diuji pada individu yang sehat, mereka menunjukkan ciri-ciri psikotik. Sementara itu, pasien skizofrenia mengalami gejala yang lebih parah. Faktor-faktor tambahan membuat pengguna ganja menjadi populasi berisiko tinggi terkena psikosis seperti gen tertentu, kekuatan strain ganja, penggunaan cannabinoid sintetis, kepribadian paranoid, trauma masa kanak-kanak, dan mulai merokok saat remaja.

Publikasi: Ashefa Griya Pusaka

Scroll to Top