Sejarah Narkotika di Indonesia #Chapter2 - Ashefa Griya Pusaka

Sejarah Narkotika di Indonesia #Chapter2

Sejarah Narkotika di Indonesia #Chapter2
Share on:

#Chapter2

Candu sebagai sebuah Gaya Hidup

PADA masa itu (era 1885an), mengisap opium menjadi ciri umum dan gaya hidup kehidupan kota dan desa. Opium dijual dan dipasarkan hingga ke tengah masyarakat di wilayah pedesaan yang tergolong berasal dari kalangan ekonomi miskin. Perayaan keberhasilan panen perkebunan atau hasil alam, misalnya, umumnya dibarengi dengan suguhan candu. Dalam acara-acara “selametan” atau perayaan tertentu seperti pernikahan, Candu akan menjadi suguhan dari tuan rumah untuk tamu-tamu yang dikenal sudah biasa menghisap candu/madat, tidak ketinggalan para pemimpin atau tokoh desa pun dijamu dengan cara ini.

Candu telah merasuk ke kehidupan masyarakat di Pulau Jawa tanpa melihat latar belakang, pangkat dan kelas ekonomi. Candu dijajakan dari rumah ke rumah. Hampir di setiap pelosok dapat ditemukan rumah candu. Orang-orang di wilayah pulau Jawa membeli candu dari hasil keringatnya sebagai pekerja kasar / buruh / petani atau kuli perkebunan yang tentunya tidak sebanding dengan penghasilannya sebagai seorang buruh pada saat itu yang rata-rata hanya 20 sen per hari.

Sejarah Narkotika di Indonesia

Sementara itu, uang yang dihabiskan untuk menghisap candu rata-rata masyarakat kala itu mencapai lebih dari 5  sen setiap hari Tapi, ada juga yang membelanjakan hingga 20 sen per hari hanya untuk opium. Karena itu, tidaklah mengherankan bila banyak yang jatuh miskin penggunaan candu. Artinya, sekitar seperempat atau bahkan seluruh penghasilannya dijajankan untuk candu. Ditengarai, 1 dari 20 orang pria di pulau jawa saat itu menghisap candu dalam tahap rekreasional dan belum sampai tahap ketergantungan, namun mengingat minimnya pemahaman mengenai dampak buruk candu saat itu, maka patut diragukan bilamana penghisap candu kala itu belum sampai tahap ketergantungan.  Selayaknya sebuah rokok, posisi candu pada masa itu telah menghiasi etalase-etalase pengusaha candu.

Pada masyarakat tionghoa masa itu, menghisap candu malah bisa dikatakan sudah menjadi kebiasaan yang “membudaya”. Warga yang tinggal di kota besar, kota kecil atau pedesaan, dan para saudagar tionghoa pun turut menikmati candu di rumah mereka, atau di rumah-rumah candu yang mewah dan eksklusif. Sedangkan cina dari kalangan menengah ke bawah mengisap opium di pondok-pondok opium umum, bersama penduduk setempat.

Sebuah jurnal harian seorang inspektur urusan opium belanda bernama Charles Temechelen menyebut, di Jawa  era tahun 1885, para kuli perkebunan menerima upah 20-25 sen perhari dapat menghabiskan 10 sen  atau lebih hanya untuk candu. Sebutir racikan candu yang biasa disebut tike dari kualitas murah seharga 5 sen di tahun 1889 sudah mengandung 15 miligram morfin.

Sejarah Narkotika di Indonesia

Pria tua itu berbaring di atas bale-bale yang terbuat dari bambu. Badannya kurus bagai tulang berbungkus kulit sahaja, ia miringkanbadannya  ke satu sisi. Ia lepaskan ikat kepalanya, lalu rambutnya yang panjang tergerai di atas bantal kotor. Seorang wanita muda, dengan kerlip mata yang menggoda, menghampirinya. Wanita pelayan ini membawa hidangan yang ada dalam sebuah kotak kecil berisikan opium, alias candu.[1]

Ia sendokkan benda mirip dodol itu dari kotak, dan meramunya dengan tembakau yang telah dirajang halus. Jemari terampil wanita muda itu membentuk campuran tadi menjadi berbentuk bola-bola kecil, seukuran biji kacang. Bola-bola candu ini lalu dimasukkan ke dalam wadah berupa mangkuk pipa penghisap candu, lalu dibakar dengan nyala api lampu minyak. [2]

Dengan telaten, wanita itu melayani tamunya. Sang pemadat menghisap asap candu dari ujung pipa, yang biasa disebut bedutan. Usai menghisap candu, lelaki tua itu lalu meninggalkan pondok tempat mengisap opium..

Rumah candu ini terdiri dari sekat-sekat kecil yang merupakan ruang (kamar) untuk menghisap candu, dilengkapi dengan perlengkapan alat hisap dan pramusajinya. Rumah candu hampir tak pernah sepi konsumen, pengunjung datang silih berganti, semata-mata untuk menghisap candu dan membeli kenikmatan sesaat. Keberadaannya legal dan  Rumah-rumah candu semacam ini banyak ditemukan tersebar hampir di seluruh pelosok Jawa, pada era 1800 hingga 1900an.

Di kalangan para elite dan saudagar, candu telah memberikan warna tertentu pada gaya hidup yang sedang berkembang kala itu. Candu telah menjadi simbol  keramah-tamahan dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat. Pada perjamuan atau pesta-pesta para elite atau saudagar, sudah sangat umum jika para tamu undangan pria disuguhi candu. Bahkan, tidak hanya sampai pada kalangan elite atau saudagar seja, menurut sebuah laporan yang dilansir, para prajurit Pangeran Diponegoro, selama Perang Jawa berlangsung, banyak yang jatuh sakit ketika pasokan candu terganggu. Dampak buruk bagi kondisi kesehatan yang ditimbulkan candu sejak dulu menimbulkan pro kontra. Para pembela tentu punya alibi dan justifikasi tersendiri untuk tetap mempertahankan keberadaan candu.  Sebuah karya sastra Jawa abad 19 yang berjudul Suluk Gatoloco[3] menyebutkan selain membuat mabuk, candu diyakini dapat meningkatkan gairah dan vitalitas pria. Namun berbanding terbalik dengan suluk gatholoco, dalam Wulang Reh, Pakubuana IV penguasa Surakarta mengutuk keras para penghisap candu (pemadat).[4]

Sebuah Kesaksian dari Batavia

Sejarah Narkotika di Indonesia

[5]Batavia dulu adalah surga bagi para pecinta candu. Terdapat sebuah pabrik candu besar, yang hasil produksinya sampai dikirim  ke daerah jajahan Belanda lainnya. Rumah-rumah candu  atau yang umumnya disebut madat pun bertebaran di Batavia kala itu. Para pemadat itu ternyata banyak orang tua yang telah sakit-sakitan yang menganggap dengan menghisap candu sebagai upaya menyembuhkan penyakitnya agar berumur panjang.

Pabrik candu Batavia itu dahulu pusatnya di kawasan kampus Kedokteran UI Salemba Raya. Hasil produksinya dikirim ke wilayah Glodok dan sekitar Jakarta hingga keluar ke Jawa. Pabrik mulai beroperasi mulai   jam 7 pagi hingga 5 sore setiap harinya. “Pada jam 07.00 cerobong pabrik candu dibunyikan. pertanda pabrik mulai beroperasi,” kata Abdillah Gani, Pria yang lahir di Kwitang, Jakarta Pusat, pada tahun 1936.[6]

Dalam sehari suara itu dibunyikan tiga kali. Pagi, siang, dan sore. Pada pagi hari saat jam masuk kerja, saat istirahat atau makan siang, dan sore untuk menandai jam kerja selesai. Masa kecil Abdillah Gani sang penutur dihabiskan di rumah kakeknya sekitaran daerah Salemba, tepatnya Jalan Kenari yang kita kenal saat ini.

“Bentuk pabriknya besar dengan atap seng yang memanjang. Dibalut dengan  tembok-tembok,” katanya.. “pabrik tersebut berlokasi tepat di belakang fakultas kedokteran UI Salemba. Dari depan kampus sekarang memanjang ke Belakang. Di bagian belakang terdapat mess karyawannya,”. 

Sejarah Narkotika di Indonesia

Sekitar wilayah pabrik terdapat lapangan, yang biasa digunakan untuk  bermain anak kecil yang tinggal di wilayah sekitar. Meski pabrik candu itu termasuk sangat besar namun situasi di sekitarnya sangatlah sepi. “Kalau udah siang suasana pabrik sepi. Suram, kayak di kuburan apalagi ketika hujan atau mendung. Ga ada anak kecil yang berani main dekat situ,” tuturnya.

Hampir tidak ditemukan penjagaan yang ketat pada area bangunan pabrik, sehingga anak-anak bisa bermain bebas di lapangan dekat pabrik. Abdillah Gani dan teman sepermainannya  juga leluasa melihat gedungnya dari luar karena pekarangannya hanya dibatasi pagar kawat saja. “Karyawannya sangat banyak dimana mayoritas didatangkan dari pelosok Jawa,” tuturnya, hal ini disebabkan masyarakat sekitar jalan kenari, tidak berkenan untuk bekerja di pabrik tersebut.

Daerah ini dihuni oleh warga asli Betawi yang sebagian besar berprofesi sebagai kusir “Di sini orang-orangnya anti penjajah. Maka tidak heran kalau orang-orang di sini dianggap komuni,” tuturnya. Pabrik yang beroperasi awal tahun 1900 itu data menghasilkan ribuan bahkan puluhan ribu butir candu. Dan pabrik ini dikenal sebagai salah satu pabrik besar dan menjadi pusat produksi candu dan pemasok bukan saja untuk wilayah Batavia tapi untuk daerah  jajahan Belanda lainnya. Di wilayah Batavia, candu didistribusikan ke Glodok terlebih dahulu, sebagai pusat distributor sebelum didistribusikan ke daerah luar batavia. “Di sana siapa saja boleh beli. Di sana juga disediakan rumah-rumah tempat ngisep candu. Di Glodok, namanya daerah Petak Sembilan,” imbuhnnya.

Berlokasi sebelum gedung Arsip Nasional kini terdapat satu gang kecil yang bernama Keselamatan. Kala itu, orang biasa menyebutnya Gang Madat Besar. Pergantian nama jalan menjadi gang Keselamatan diubah oleh Pemerintah pada tahun 1950-an yang merubah nama jalan di daerah kota menjadi gang dengan nama seperti: gang kejayaan, gang kesejahteraan, gang keselamatan, gang kerajinan, dan lainnya. Muntoha, salah satu tokoh dan warga asli yang lahir tahun 1938 ingat betul pada era tahun 1930, rumah-rumah warga sekitar  umumnya berukuran kecil. Jumlahnya masih sedikit. Dihuni oleh mayoritas orang betawi setempat, lalu pendatang-pendatang yang berasal dari  Arab dan Cina. Ada juga orang-orang dari Jawa yang dating dan bekerja di Batavia. “Di situ ada rumah madat ,” kata Muntoha  Mereka yang menghisap candu atau candu seingatnya hanya orang-orang Cina saja. Warga betawi tak berani mengikuti empek-empek itu. “Orang-orang wilayah sini takut untuk  ikut-ikutan menghisap karena tidak mau tertular penyakit berbahaya”[7]

Sekitar tahun 1948, ia melihat pemandangan yang menakutkan “Saya melihat mereka mengangkat  orang yang telah wafat” tuturnya. Rupanya beberapa orang yang madat itu mati. “Saya tidak tahu siapa namanya. Yang saya tahu orang yang wafat itu diangkat keluar dari rumah madat.” Sejak itu rumah bertambah sepi. Zaman mulai berubah. Para pemadat  dianggap meresahkan lingkungan dan mengakibatkan ligkungan yang tidak  sehat. Mereka dijauhkan dari warga. “Warga sudah tidak mau tahu.” tuturnya.[8]

Seorang penulis dari University of Pittsburgh yag bernama Siddarth Chandra menuliskan bahwa tahun 1928 merupakan masa kejayaan dan kesuksesan VOC atau Pemerintah kolonial Belanda karena berhasil memperoleh keuntungan dari candu sebesar 34.6 juta gulden, dan menghasilkan pemasukan bagi VOC dari pajak penjualan candu sebesar lebih dari 800 juta gulden.Satu papernya berjudul Economic Histories of the Candu Trade mengungkapkan pada pertengahan tahun 1928 adalah titik tertinggi dari penjualan candu di Hindia Belanda, yaitu sebesar 60.000 kilogram. Setahun kemudian hingga tahun 1936 adalah dimulainya periode kejatuhan candu dan bergugurannya  penjualan candu di Hindia Belanda. Periode ini disebut sebagai periode “Great Depression”.[9]

Bersambung.. Sejarah Narkotika Chapter 3


[1] Heddy Lugito [Gatra Nomor 13 Tahun ke 7, beredar 12 Februari 2001], Opium to Java – Ketika Jawa Dilamun Candu, https://serbasejarah.wordpress.com/2011/04/18/opium-to-java-ketika-jawa-dilamun-candu/#more-4904
[2] Ibid.
[3] Suluk Gatholoco yakni sulukmistisisme Jawa yang diperkirakan berasal dari awal abad ke-19, berbahasa Jawa Baru. Sejak pertama kali dikaji oleh orang Belanda, suluk ini sudah mengejutkan karena gaya penulisannya yang sangat terbuka dan di beberapa bagian vulgar, jauh berbeda dengan karya-karya semasanya
[4] Zulhakim, Nusantara di Abad 17, Ketika Warga Bebas Jual Beli Narkoba, https://lombokpost.jawapos.com/sejarah/02/05/2021/nusantara-di-abad-17-ketika-warga-bebas-jual-beli-narkoba/, diakses oktober 2021
[5] Pabrik candu van salemba, https://bataviase.wordpress.com/2007/04/16/pabrik-candu-van-salemba/, diakses oktober 2021
[6] Ibid
[7] Kesaksian tentang gang keselamatan, https://bataviase.wordpress.com/2007/04/16/kesaksian-tentang-gang-keselamatan/, diakses oktober 2021
[8] Ibid 
[9] Ibid  

Publikasi: Ashefa Griya Pusaka

Scroll to Top