Sejarah Narkotika di Indonesia #Chapter1 - Ashefa Griya Pusaka

Sejarah Narkotika di Indonesia #Chapter1

Sejarah Narkotika Indonesia
Share on:

#Chapter1

Prolog

Permasalahan perdaran gelap dan penyalahgunaan narkoba di Indonesia menunjukan peningkatan, kali ini kita akan membahas sejarah narkotika di Indonesia. Melalui Indonesia Drugs Report 2020, BNN melansir bahwa pada tahun 2019 jumlah prevalensi pengguna narkoba sudah mencapai 4,5 juta jiwa. Indonesia yang pada era 90-an dianggap hanya sebagai transit, bahkan saat ini sudah menjadi pasar terbesar bagi peredaran gelap narkotika di wilayah Asia Tenggara. Dampak penyalahgunaan yang saat ini sangat terasa ialah hampir lebih dari setengah populasi Lembaga pemasyarakatan berasal dari kasus penyalahgunaan narkotika. Asumsi yang mengatakan penyalahgunaan narkotika hanya untuk kalangan menengah keatas, saat ini sudah terbantahkan dengan beragamnya latar belakang penyalahguna narkotika baik dari kalangan pekerja, public figure, pelajar bahkan anak jalanan.

Dilansir dari Indonesia Drug Report 2019 yang dirilis oleh Badan Narkotika Nasional, sepanjang tahun 2018, BNN dan Polri telah berhasil menyita barang bukti shabu sebanyak lebih dari 8 ton, 41 ton daun ganja disertai areal penanaman ganja seluas 59 hektar dengan pohon ganja sebanyak lebih dari 1 juta batang dan jenis psikotropika seperti ekstasi tablet dan serbuk masing-masing 1,5 juta butir dan 2.300 gram.

Sejarah Narkotika di Indonesia

Semakin tingginya jumlah pengguna narkoba juga dapat diindikasikan pada jumlah warga binaan pemasyarakatan yang berasal dari kasus narkoba.  Berdasarkan sistem database pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bulan Mei 2020, dari total jumlah Tahanan dan Narapidana sejumlah 229,679 orang, jumlah kasus Narkoba Pengguna (NKP) adalah 43,366 WBP sedangkan kasus Narkoba bandar/pengedar (NKB) adalah 84,025 WBP ditambah kasus anak dengan narkoba sejumlah 176 WBP. Jumlah tersebut dinilai sangat tinggi bila dibandingkan jumlah pengguna napza yang dikenakan tindakan untuk rehabilitasi oleh pengadilan. Over Capacity yang terjadi di Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebesar 74% dengan kapasitas Rutan/Lapas sebesar 132,494 orang, saat ini harus menampung 229,679 tahanan dan narapidana. (sdp.ditjenpas.go.id)

Beberapa strategi Badan Narkotika Nasional dalam upaya meminimalisir peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba di Indonesia antara lain Pendekatan yang berorientasi pada pemintaan pasar (Demand reduction / Soft Power Approach) berupa aktivitas pencegahan, pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi dan pasca rehabilitasi dengan tujuan menekan jumlah penyalahguna narkotika dengan memulihkan kondisi secara fisik, psikis dan sosial.  Pendekatan penegakan hukum (Supply Reduction /  Hard Power Approach) yaitu dengan konsentrasi pada pemberantasan jaringan peredaran gelap secara tegas dan terukur dalam menangani sindikat narkoba serta pendekatan dengan terkonsentrasi pada penggunaan teknologi informasi dalam upaya penanggulangan narkotika.

Program pemberantasan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba di Indonesia tentunya tidak lepas dari masalah Peredaran gelap dan Penyalahgunaan Narkotika di tingkat global. Perserikatan bangsa-bangsa telah menginisiasi pembentukan konvensi tunggal narkotika pada tahun 1961 dimana Indonesia turut menandatanganinya dengan mengajukan syarat dan meratifikasinya ke dalam Undang-undang No. 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika 1961 beserta protocol yang merubahnya.

Seiring berjalannya waktu dan berkembangannya masalah internasional menjadi ancaman-ancaman yang sifatnya non-militer seperti masalah lingkungan hidup, migrasi, drugs trafficking, human trafficking dan HIV/AIDS dengan melewati batas negara (transnational crime). Dalam menghadapi ancaman-ancaman tersebut, maka dibentuklah United Nation on Drugs and Crime (UNODC) pada tahun 1997 sebagai salah satu badan yang didirikan dibawah naungan PBB.

Pada 7 Desember 1987 UNODC mencanangkan 26 Juni sebagai Hari anti narkotika Internasional (HANI). Tanggal tersebut dipilih dengan mengambil momen pengungkapan kasus perdagangan opium oleh Lin Zexu (1785-1851) di Humen, Guangdong, Tiongkok. Hari anti narkotika internasional diperingati sebagai upaya meminimalisir jatuhnya korban penyalahgunaan narkotika serta merebaknya jumlah peredaran gelap narkotika secara globa

Sejarah Narkotika di Indonesia

Tak kunjung usainya masalah peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika menimbulkan pertanyaan, sejak kapan masalah narkotika ada di Indonesia? Hal yang cukup menarik adalah, ternyata bukan baru sekarang Indonesia mengalami permasalahan penyalahgunaan narkotika. Hal ini dapat dibaca pada beberapa literatur dan buku yang menceritakan sejarah narkotika di Indonesia. Artikel ini akan membahas secara singkat mengenai sejarah dan perkembangan peredaran dan penggunaan narkotika di Indonesia.

Opium di Tanah Jawa

Sejarah Narkotika di Indonesia

Opium atau biasa disebut candu  adalah getah bahan baku narkotika golongan Opioid yang diperoleh dari buah candu  yang belum matang. Satu tangkai opium yang hanya terdiri dari satu bunga dengan kuntum bermahkota putih, ungu, dengan pangkal putih serta merah cerah merupakan bahan baku dari merebaknya penyalahgunaan narkotika secara global. Morfin dan codein adalah dua produk alami dari opium. Pada akhirnya, munculah berbagai morfin buatan manusia yang antara lain Fentanil, Heroin, Hidrokodon dengan asetaminofen, Hidrokodon, Hidromorfon, dan Metadon.

Opium atau yang biasa dikenal dalam Bahasa latin papaver somniferum merupakan tumbuhan yang tidak tumbuh di Pulau Jawa, bahan baku opium harus dipasok dan didatangkan dari daerah lain yang diduga dari wilayah Turki dan Persia. Mengutip dari buku yang ditulis oleh James R. Rush yang berjudul Opium To Java, ditengarai bahwa candu merupakan komoditi yang dibaa masuk oleh saudagar Arab ke wilayah Hindia Belanda saat itu atau lebih tepatnya di pulau Jawa, meskipun tidak ditemukan bukti lain yang mengindikasikan sejak kapan candu mulai menjadi komoditas dagang di Jawa.

Candu sudah mulai dikenal oleh rakyat baik pribumi atau non pribumi di pulau jawa  setidaknya sejak abad 17 ketika Kolonial Belanda memanfaatkan candu sebagai bisnis yang sangat menguntungkan bagi mereka dengan memonopoli pasokan dan lisensi penjualan yang diberikan kepada pengusaha-pengusaha yang akan mendirikan rumah-rumah candu di wilayah hindia belanda dengan memungut pajak tinggi. Candu merupakan barang yang diperebutkan antara belanda, Denmark dan inggris kala itu, tetapi perebutan tersebut dimenangkan oleh Belanda akhirnya berhasil melakukan monopoli perdagangan candu, sedangkan pelaksananya adalah para elit China di pulau Jawa.

Pada tahun 1677, Belanda melalui VOC (Vereenigde Ost Indische Companie/ VOC) di Hindia Timur berhasil memperoleh kesepakatan dengan raja Jawa ketika itu, yakni Raja Amangkurat II untuk memasok candu ke wilayah Mataram dan meguasai perdagangan candu di seluruh negeri. Setahun kemudian kesepakatan yang sama pun turut dilakukan di wilayah  Cirebon. Pada periode tahun 1619-1799 VOC dapat memasok lebih dari  56 ton opium mentah setiap tahunnya hanya  ke Pulau Jawa. Pada tahun 1820 tercatat telah ada hampir 372 pemegang lisensi di wilayah Pulau Jawa untuk menjual opium.

Hanya dalam kurun waktu dua tahun, grafik perdagangan opium menunjukan peningkatan dua kali lipat. Namun walaupun ada regulasi yang ditetapkan oleh VOC atas lisensi dagang opium melalui Pemerintah Belanda, tetap saja ada beberapa upaya penghindaran pajak dengan menyelundupkan candu secara illegal yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan jumlah impor resmi. Awal tahun 1800an, peredaran opium sudah merebak sangat drastis hampir di pesisir utara Jawa, mulai dari Batavia hingga ke Timur pulau jawa meliputi  Tuban, Gresik, dan Surabaya, bahkan Pulau Madura. Di wilayah pedalaman pulau jawa kala itu, opium telah masuk sampai ke desa-desa di wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Pada 1894, pabrik candu dibangun di Struiswljk (Gang Tengah, Jakarta)  dan di Meester Cornells (Jatinegara, Jakarta). Tingginya permintaan pasar kala itu, mengharuskan Pemerintah Belanda (VOC) untuk membangun pabrik candu yang lebih besar dan lebih modern di wilayah Salemba (kini menjadi Kampus Universitas Indonesia).

Selain melegalkan dan meregulasi perdagangan candu, VOC di wilayah Batavia juga menetapkan peraturan dan regulasi mengenai syarat penjualan candu dan siapa saja yang dapat berniaga candu. Penjualan candu saat itu ditentukan di lokasi-lokasi tertentu, mulai dari wilayah pemukiman kalangan masyarakat umum hingga tangsi-tangsi militer. Saat itu, candu dengan kualitas baik menjadi salah satu barang mewah bagi kaum elite seperti para bangsawan, pejabat-pejabat eropa / non pribumi, atau tuan-tuan tanah kaya. Sementara candu kualitas rendah dikonsumsi kalangan seperti seniman teater, pedagang, orang upahan di perkebunan, hingga para serdadu rendah di tangsi militer.

Penghisap madat (candu) terdiri dari rakyat pribumi dan non pribumi yang berasal dari berbagai kalangan  yang bertempat tinggal di wilayah  pulau Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada warga kalangan atas, menghisap candu sama seperti pemenuhan eksistensi dan gaya hidup kala itu, Candu sepetti telah menjadi ikon kesuksesan dan disuguhkan sebagai tanda hormat bagi para tamu yang berkunjung di rumah para bangsawan Jawa dan China. Di sisi lain, kelompok masyarakat yang berasal dari kalangan ekonomi menengah kebawah juga turut menikmati dan menghisap candu, meskipun kebanyakan menghisap candu kualitas rendah. Awalnya, candu dipercaya dapat menjadi obat untuk mengobati pegal dan sakit-sakit lainnya. Namun, efek yang ditimbulkan dari candu akibat penggunaan secara rutin akan mengakibatkan ketergantungan dan menimbulkan gejala putus zat bila tidak dikonsumsi. Hingga akhirnya penggunaan candu akan mengakibatkan seorang pengguna yang sudah dalam taraf kecanduan menjadi tidak produktif dan lamban berpikir. Selain mengakibatkan masalah fisik dan psikis, penggunaan candu juga berdampak pada masalah ekonomi dan keuangan bagi keluarga.

Saat ini pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Narkotika Nasional mendeklarasikan Indonesia Darurat Narkoba dengan catatan hampir 30 orang wafat dengan penyebab kematian terkait dengan penggunaan narkotika. Dapat dibayangkan, seberapa daruratnya wilayah pulau jawa dan hindia belanda kala itu  saat satu dari 20 orang di Jawa adalah pengguna candu, tulis pakar candu Henri Louis Charles Te Mechelen, seperti yang tercantum dalam buku Opium To Java karya James R.Rush.

Bersambung.. Sejarah Narkotika Chapter 2


Audi E. Ginting, Pengaturan hukum kantor PBB mengenai urusan narkoba dan kejahatan (united nations office on drugs and crime) dalam penanggulangan perdagangan narkoba di Indonesia, https://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/4454/130200500.pdf?sequence=1&isAllowed=y, 2018
Inggra Parandaru, Kronologi hari anti narkotika internasional:Warisan semangat Lin Zexu melawan narkotika, https://kompaspedia.kompas.id/baca/infografik/kronologi/kronologi-hari-anti-narkotika-internasional-warisan-semangat-lin-zexu-melawan-narkotika, Juni 2021
Sejarah madat dan candu di jawa, https://id.wikipedia.org/wiki/Opium, diakses pada Oktober 2021
Cara unik kesultanan banten menghukum pecandu narkoba, https://archive.netralnews.com/news/singkapsejarah/read/215747/cara-unik-kesultanan-banten-hukum-pecandu-narkoba, diakses oktober 2021

Publikasi: Ashefa Griya Pusaka

Scroll to Top