Program Rehabilitasi Berbasis Bukti
Rehabilitasi narkotika berbasis bukti (Evidence Based Treatment) adalah rehabilitasi dengan metode apapun yang telah terbukti secara ilmiah efektif yang telah melalui tinjauan akademisi. Menurut Asosiasi Terapi Perilaku dan Kognitif, praktik berbasis bukti ditandai dengan kepatuhan terhadap pendekatan dan teknik psikologis yang didasarkan pada bukti ilmiah.
American Psychiatric Association dan American Psychological Association keduanya menganggap Evidence based treatment sebagai praktik terbaik dan salah satu pendekatan \’pilihan\’ untuk pengobatan atau pemulihan terhadap gejala psikologis. Dalam literatur yang relevan, kedokteran berbasis bukti juga telah didefinisikan sebagai penggunaan bukti terbaik saat ini secara cermat, eksplisit, dan bijaksana dalam membuat keputusan tentang perawatan pasien secara individual (Sackett et al., 1996). Belakangan ini, definisi tersebut telah diperluas dengan mencakup pertimbangan-pertimbangan lain, seperti : preferensi pasien, tindakan, dan keadaan klinis(Cook et al., 2017). Perluasan definisi ini sangat penting dalam konteks psikoterapi di mana efektivitas pengobatan/pemulihan sebagian besar ditentukan oleh investasi dan keyakinan pasien pada keefektifan pengobatan.
Tujuan utama di balik praktik layanan berbasis bukti adalah peningkatan kualitas pengobatan/pemulihan, dan peningkatan akuntabilitas layanan terhadap penerima layanan. Dalam pemenuhan tujuan inilah maka klien/pasien hanya akan mengeluarkan pembiayaan kepada program pemulihan/perawatan yang telah terbukti efektif (Spring, 2007). Para ahli menekankan bahwa kehati-hatian dalam memilih program pemulihan berbasis bukti mutlak diperlukan untuk memastikan bahwa klien tidak hanya memprioritaskan biaya yang murah namun masih dipertanyakan keefektifan metode layanannya dengan kata lain, harus ada penekanan bahwa selain daripada faktor biaya, maka faktor efektivitas layanan dengan pendekatan yang berbasis bukti pun harus menjadi pertimbangan.
Pendekatan layanan berbasis bukti akan dapat mengukur dan menunjukan keterlibatan penyedia layanan dalam melakukan pemantauan terhadap klien dalam memotret tingkat keberhasilan layanan. Penggunaan perangkat ukur berbasis bukti adalah mutlak dilakukan bagi lembaga penyedia layanan yang menyatakan bahwa metode layanannya berbasis bukti dan efektif. Efektifitas sebuah layanan terhadap gangguan penggunaan narkotika tidak hanya dapat diukur dari satu aspek saja melainkan harus melihat aspek-aspek llain diluar penggunaan narkotikanya.
Proses pemulihan berbasis bukti itu sendiri merupakan seperangkat tindakan sistematis yang terukur yang dilakukan oleh professional terlatih di bidang pemulihan ketergantungan narkotika secara dua arah. Pelibatan klien dalam menentukan rencana perawatan merupakan esensi utama yang harus dilaksanakan. Layanan dengan metode pendekatan perubahan perilaku membantu individu dengan gangguan penggunaan narkotika untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku mereka yang merupakan dampak dari penggunaan narkotika. Selain itu, juga memperhatikan faktor lain seperti peningkatan keterampilan dalam mengelola stres atau faktor-faktor yang dapat memicu kekambuhan.
Setiap pendekatan dirancang untuk mengatasi aspek tertentu dari permasalahan ketergantungan narkotika yang timbul dan dampak bagi pengguna, bangsa , keluarga, dan masyarakat. Beberapa aspek resiko dan dampak buruk yang dialami oleh individu dengan gangguan penggunaan narkotika seperti aspek medis, psikiatrik, sosial, ekonomi, pekerjaan, pendidikan dan keluarga. Penilaian derajat keparahan dari keseluruhan aspek itu dapat diukur dengan menggunakan salah satu alat ukur yang sudah umum digunakan secar global yaitu Addiction severity Index (ASI).
Penggunaan perangkat ASI dilakukan dalam pelaksanaan asesmen terhadap klien/pasien. Asesmen itu sendiri merupakan salah satu elemen utama dalam pemberian sebuah layanan. Selain dari proses skrining awal, asesmen merupakan proses penggalian informasi terkait 7 aspek pada individu dengan gangguan penggunaan narkotika. Hasil dari asesmen ini merupakan acuan dasar dalam penyusunan rencana rawatan (treatment plan).
Dalam penerapan rehabilitasi Standar Nasional Indonesia (SNI), penerapan asesmen merupakan salah satu perangkat yang wajib dilaksanakan dan dikuasai oleh SDM pelaksana program rehabilitasi. Ketiadaan penerapan elemen ini mengindikasikan kualitas layanan yang belum terstandar.
Selain daripada proses asesmen, masih ada variabel lain yang wajib dilakukan oleh penyedia layanan agar dapat memenuhi unsur berbasis bukti. Prasyarat kelembagaan seperti ini yang hingga saat ini masih belum secara optimal dipahami oleh masyarakat atau oleh penerima layanan itu sendiri. Sosialisasi mengenai standar rehabilitasi dan program yang berbasis bukti kepada masyarakat dinilai masih belum optimal. Perlindungan Hukum terhadap penerima layanan pemulihan narkoba masih belum memadai selama tidak ada standar baku yang ditetapkan terhadap lembaga penyedia layanan. Dasar hukum narkotika juga menjelaskan tentang aturan bagi pecandu dan penyalahguna mendapatkan haknya.
Therapeutic Community
Therapeutic Community (TC) adalah bentuk umum dari perawatan secara rawat inap dalam kurun jangka panjang untuk gangguan penggunaan narkotika. Metode ini mulai muncul pada akhir 1950-an dari gerakan pemulihan secara swadaya, yang mencakup kelompok-kelompok seperti Alcoholics Anonymous. Beberapa kelompok tersebut berkembang menjadi tempat tinggal mandiri dan dikelola secara demokratis untuk mendukung pemulihan dari penggunaan narkoba (Sacks & Sacks, 2010). TC pertama adalah komunitas rehabilitasi residensial Synanon, yang didirikan pada tahun 1958 di California. Selama tahun 1960-an, generasi pertama TC menyebar ke seluruh wilayah Amerika Serikat, dan hari ini pendekatan TC telah diadopsi di lebih dari 65 negara di seluruh dunia (Bunt et al. , 2008).
Secara historis, TC telah melihat diri mereka sebagai sebuah alternatif secara swadaya untuk strategi yang berorientasi medis dalam mengatasi masalah ketergantungan narkotika dan sebagian besar tidak mengizinkan penerima layanan metode ini untuk menggunakan narkotika jenis apa pun, termasuk di dalamnya layanan substitusi seperti metadon (obat agonis opioid jangka panjang yang terbukti efektif dalam mengobati kecanduan dan nyeri opioid) (De Leon, 2000; De Leon, 2015). Selama 30 tahun terakhir, sikap TC terhadap pengobatan telah berkembang secara bertahap, mencerminkan perubahan sikap sosial terhadap pemulihan ketergantungan narkotika dan pengakuan ilmiah bahwa adiksi sebagai gangguan medis (De Leon, 2000; De Leon, 2015; Vanderplasschen et al., 2013) .
TC juga telah diadaptasi dari waktu ke waktu untuk memenuhi kebutuhan pemulihan dari populasi yang berbeda. Selama tahun 1990-an, TC yang dimodifikasi muncul untuk mengobati orang dengan gangguan kejiwaan yang terjadi bersamaan, individu tunawisma, wanita, dan remaja (De Leon, 2010; Sacks et al., 2004b; Sacks et al., 2003; Sacks & Sacks, 2010; Jainchill et
al., 2005) Juga, karena proporsi tindak pidana yang berasal dari kasus penggunaan narkotika meningkat dalam periode yang sama, lembaga pemasyarakatan mulai mempraktekan TC di penjara (seringkali di unit perumahan yang terpisah), dan tersedia juga untuk orang yang masuk kembali ke masyarakat setelah menjalani masa pidana dengan tujuan mencegah kekambuhan (Wexler & Prendergast, 2010).
Awalnya, TC dijalankan hanya oleh rekan-rekan dalam pemulihan. Seiring waktu dan dalam menanggapi perubahan kebutuhan, banyak penyedia layanan yang menerapkan metode TC mulai melibatkan staf profesional dengan konseling penyalahgunaan zat atau pelatihan kesehatan mental. Saat ini, program TC dapat dipastikan memiliki profesional terlatih secara medis (misalnya, psikiater, dokter, perawat, dan psikolog) sebagai SDM dalam lembaganya, dan sebagian besar turut memberikan layanan medis dalam lembaga.
Metode ini memiliki orientasi pemulihan, dengan fokus secara komprehensif terhadap individu dan perubahan gaya hidup secara total, tidak hanya terbatas pada total abstinensia. Orientasi ini mengakui sifat kronis, kambuhan dari gangguan penggunaan narkotika dan berpandangan bahwa penyimpangan atau kekambuhan adalah kesempatan untuk belajar (Vanderplasschen et al., 2013; De Leon, 2012). Pemulihan dipandang sebagai proses perubahan kognitif secara bertahap
dan berkelanjutan melalui intervensi klinis.
Mengikuti konsep komunitas sebagai metode, TC menggunakan partisipasi aktif dalam kehidupan dan aktivitas kelompok untuk mendorong perubahan individu dan pencapaian tujuan terapeutik (Dye et al., 2009; Dye et al., 2012; Vanderplasschen et al., 2013 ; Vanderplasschen et al., 2014; Bunt et al., 2008). Dengan penekanan pada pembelajaran sosial dan saling membantu
diri sendiri, setiap individu mengambil beberapa tanggung jawab untuk pemulihan rekan-rekan mereka. Bantuan kepada orang lain ini dipandang sebagai bagian penting dalam mengubah diri sendiri.
Pencegahan kekambuhan adalah bagian dari banyak program perawatan ketergantungan narkotika, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan membangun keterampilan baik untuk mengurangi kemungkinan atau frekuensi kekambuhan dan tingkat keparahannya ketika itu terjadi. Secara keseluruhan, penelitian menemukan bahwa penerima layanan melalui metode ini menunjukkan peningkatan dalam hal pemulihan atas masalah penyalahgunaan narkotika, pemangkasan perilaku negatif, dan perawatan atas gejala masalah psikiatrik (De Leon, 2010; Vanderplasschen et al., 2013).
Pada era tahun 1990an akhir, Lembaga rehabilitasi narkotika di Indonesia yang mengusung metode TC dalam layanannya sangat menjamur. Tren penggunaan narkotika jenis heroin pada saat itu dinilai efektif dengan pendekatan metode TC yang berorientasi pada pemulihan, perubahan perilaku, pendekatan kelompok dan rekan sebaya dilengkapi dengan perawatan
masalah medis. Hal ini berlangsung hingga terjadinya pergeseran trend penggunaan narkotika ke golongan stimulant. Dampak psikiatrik yang umumnya dialami oleh pengguna narkotika golongan stimulant dinilai kurang efektif dengan pendekatan yang menerapkan “peer pressure” dalam arti sesungguhnya.
Mispersepsi terhadap definisi pendekatan kelompok berdampak pada tidak optimalnya pendekatan secara individu dan penggunaan perangkat berbasis bukti (asesmen, kesepakatan rencana rawatan, konseling dll.). Situasi ini yang akhirnya membuat penyedia layanan TC beradaptasi dengan kebutuhan klien/pasien secara individu.
Publikasi: Ashefa Griya Pusaka