Resiko Bunuh Diri pada Pengguna Narkotika - Ashefa Griya Pusaka

Resiko Bunuh Diri pada Pengguna Narkotika

Resiko Bunuh Diri pada Pengguna Narkotika
Share on:

Resiko Bunuh Diri

Bunuh diri adalah pengakhiran hidup seseorang dengan sengaja melalui tindakannya sendiri. Dianggap sebagai salah satu epidemi kesehatan terbesar bangsa oleh banyak orang di bidang medis. Bunuh diri adalah salah satu penyebab utama kematian di Amerika Serikat, terutama di kalangan anak muda. Bunuh diri adalah penyebab utama kematian ke-10 di antara semua orang Amerika, tetapi itu penyebab utama ketiga kematian orang Amerika berusia 10-14 dan penyebab utama kedua kematian bagi orang Amerika berusia 15-34. Pada tahun 2015 saja, 44.193 orang Amerika meninggal karena bunuh diri.

Bunuh diri, kecanduan, dan depresi memiliki hubungan yang sangat erat dan saling berhubungan. Lebih dari 90% orang yang menjadi korban bunuh diri menderita depresi, memiliki gangguan penggunaan zat (SUD), atau keduanya. Depresi dan penyalahgunaan zat bergabung untuk membentuk lingkaran yang terlalu sering mengarah pada bunuh diri. Banyak orang yang mengalami depresi berat seperti itu (sebagai akibat dari Depresi Besar, Gangguan Bipolar, Gangguan Obsesif Kompulsif, dan kondisi lainnya) sering beralih ke narkotika, alkohol, perjudian, dan perilaku berisiko lainnya untuk menghilangkan rasa sakit dan/atau mengurangi perasaan negatif mereka.

class=wp-image-13362/

Namun, penyalahgunaan zat dan kecanduan benar-benar memiliki peran yang besar dalam meningkatkan keparahan dan menambah durasi episode depresi. Meskipun ada bantuan sementara yang mereka berikan, sebenarnya sangat meningkatkan kemungkinan pikiran untuk bunuh diri (ide bunuh diri). Ini diperburuk oleh fakta bahwa kecanduan sering merusak atau menghancurkan hubungan keluarga, profesional, pribadi, dan keuangan, yang semakin meningkatkan risiko bunuh diri. Lebih buruk lagi, banyak jenis narkotika yang sangat memengaruhi penilaian, yang mengarah pada upaya bunuh diri.

Setiap kasus bunuh diri sangat berbeda, begitu pula penyebabnya. Dalam kebanyakan kasus, tidak ada penyebab tunggal, melainkan sejumlah besar faktor yang berkontribusi. Beberapa faktor risiko yang paling umum untuk bunuh diri meliputi:

  • Pikiran bunuh diri
  • Riwayat Percobaan bunuh diri sebelumnya
  • Depresi
  • Penyalahgunaan narkotika dan kecanduan alkohol
  • Riwayat bunuh diri pada keluarga/komunitas
  • Riwayat kekerasan dan/atau pelecehan seksual dalam keluarga
  • Riwayat Penahanan sebelumnya
  • Akses terhadap senjata api atau senjata tajam di rumah
  • Perilaku kekerasan terhadap orang lain

Dari semua faktor yang terkait dengan bunuh diri, hanya depresi (66% orang yang menjadi korban bunuh diri yang mengalami depresi pada saat itu) yang berkorelasi lebih erat daripada penyalahgunaan narkotika. Individu dengan gangguan penggunaan zat hampir 6 kali lebih mungkin untuk mencoba bunuh diri di beberapa titik dalam hidup mereka. Di antara para veteran, pria dengan gangguan penggunaan narkotika dua kali lebih mungkin menjadi korban bunuh diri, dan wanita dengan gangguan penggunaan narkotika 6,5 ​​kali lebih mungkin menjadi korban bunuh diri.

Dari semua kecanduan, mungkin tidak ada yang lebih mungkin mengakibatkan bunuh diri daripada kecanduan Opioid. Pada tahun 2015, lebih dari 33.000 orang Amerika meninggal karena Opioid. Karena sifat overdosis, tidak mungkin untuk mengetahui berapa banyak dari kematian ini yang tidak disengaja dan berapa banyak yang bunuh diri. Pria dengan gangguan penggunaan Opioid dua kali lebih mungkin menjadi korban bunuh diri, dan wanita dengan gangguan penggunaan Opioid 8 kali lebih mungkin menjadi korban bunuh diri. Penggunaan opioid dikaitkan dengan kemungkinan 40% -60% peningkatan pemikiran bunuh diri, dan kemungkinan 75% peningkatan upaya bunuh diri. Beberapa observasi menunjukkan bahwa pengguna Opioid dan narkoba suntikan 13 kali lebih mungkin meninggal karena bunuh diri.

Setiap orang yang berpikir untuk bunuh diri berbeda secara dramatis, begitu pula tanda-tanda peringatan yang mereka tunjukkan. Beberapa menunjukkan banyak tanda peringatan klasik untuk jangka waktu yang lama sebelum menjadi korban bunuh diri, dan beberapa pada dasarnya tidak menunjukkan tanda peringatan di depan umum. Sangat jarang bahwa 1 orang akan menunjukkan berbagai tanda peringatan, dan banyak yang menunjukkan tanda-tanda peringatan tidak pernah mencoba, apalagi menjadi korban bunuh diri.

Tanda-tanda peringatan yang paling umum untuk bunuh diri meliputi:

  • Mengekspresikan keinginan untuk mati
  • Mengekspresikan perasaan terjebak
  • Bertindak gelisah atau cemas
  • Perilaku sembrono
  • Isolasi dari teman dan keluarga
  • Menghindari situasi sosial
  • Meninggalkan hobi atau sumber kesenangan lainnya
  • Insomnia
  • Penggunaan narkotika dan alkohol berat
  • Iritabilitas yang ekstrim
  • Keputusasaan
  • Penurunan mendadak dalam pekerjaan atau prestasi akademik

Pencegahan bunuh diri

Dari semua kemungkinan cara untuk kehilangan orang yang dicintai, banyak yang menganggap bunuh diri sebagai cara yang paling menyakitkan. Karena anggapan bahwa bunuh diri adalah sebuah pilihan, banyak orang yang ditinggalkan merasa bahwa mereka bisa melakukan sesuatu untuk menghentikannya. Ini meninggalkan rasa bersalah yang luar biasa dan menyalahkan diri sendiri selain dari perasaan kehilangan itu sendiri.

Penting untuk diketahui bahwa jika Anda kehilangan seseorang karena bunuh diri, itu BUKAN salah Anda. Setiap keputusan yang mereka buat sepenuhnya milik mereka sendiri, dan Anda tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka. Namun, jika Anda mencurigai seseorang yang Anda cintai mungkin berencana untuk bunuh diri, sama pentingnya untuk segera meminta bantuan mereka. Untungnya, ada banyak organisasi yang didedikasikan untuk pencegahan bunuh diri dan sumber daya yang tak terhitung jumlahnya tersedia untuk Anda.

Karena penyalahgunaan zat sangat meningkatkan risiko bunuh diri, salah satu langkah paling penting dalam pencegahan bunuh diri adalah mengatasi kecanduan apa pun dan menjadi sadar. Ini akan meringankan depresi dan gejala kesehatan mental terkait dari individu yang mengalami pikiran untuk bunuh diri dan meningkatkan penilaian jangka pendek mereka. Ini juga akan memungkinkan profesional kesehatan mental untuk lebih akurat menilai dan mendiagnosis masalah kesehatan mental yang mendasarinya sehingga mereka dapat dirawat dengan benar.

Layanan Rawat Inap Rehabilitasi selama Masa Pandemi

Sejak Kasus COVID-19 pertama yang  diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020, sampai saat ini jumlah kasus terkonfirmasi positif sudah mencapai 4,26 juta jiwa dengan korban wafat sejumlah 144 ribu jiwa. Resiko penularan COVID-19 menjadi lebih tinggi pada komunitas atau orang-orang yang berada dalam ruang lingkup tertutup  dan tidak dapat mempraktekkan perilaku social (physical) distancing karena situasi yang mereka hadapi.

Pandemi COVID-19 telah menciptakan krisis dalam akses ke layanan rehabilitasi. Metode layanan program rawat inap telah terkena dampak, terutama karena mereka mencoba mencegah penyebaran infeksi di dalam fasilitas dan berkontribusi pada penyebaran virus lebih lanjut di masyarakat. Krisis ini menyoroti resiko penularan yang harus dipertimbangkan  oleh lembaga penyedia layanan rehabilitasi dan menyeimbangkan antara risiko dan manfaat pasien individu dengan kelompok pasien, staf, dan komunitas yang mereka layani.

Selain menciptakan krisis kepada akses layanan rehabilitasi, masa pandemi turut dinilai berkontribusi dalam peningkatan jumlah pengguna narkotika dengan justifikasi stress, depresi, kehilangan pekerjaan, terisolasi dan lainnya. Dampak langsung yang banyak terjadi selama pandemi antara lain tidak beroperasinya beberapa layanan rehabilitasi rawat inap, pengurangan SDM hingga penutupan lembaga rehabilitasi itu sendiri.

Sebagai upaya merespon dan mencegah terjadinya penularan dalam fasilitas rehabilitasi rawat inap, beberapa lembaga yang masih beroperasi menerapkan prosedur protokol kesehatan dalam fasilitas seperti pemeriksaan gejala dan suhu di pintu masuk, persyaratan masker dan jarak fisik, dan kebijakan pengunjung dalam jumlah terbatas terbatas atau mungkin meniadakan waktu kunjungan sama sekali.

Adaptasi dalam masa pandemi ini memerlukan perubahan signifikan pada protokol standar layanan rehabilitasi, seperti terapi kelompok, yang memerlukan interaksi secara intensif dalam kelompok. Guna mencegah terjadinya klaster baru dalam lembaga rehabilitasi rawat inap, penyedia layanan dihadapkan dengan pertanyaan mengenai standar layanan atau intervensi terapeutik mana yang dapat dilaksanakan secara normal.

Langkah yang telah diambil Pemerintah Indonesia saat ini terkait layanan rehabilitasi di masa pandemi adalah menerbitkan pedoman pelaksanaan layanan rehabilitasi napza pada periode pandemi covid19. Pedoman ini disusun berdasarkan berbagai kebijakan dan pedoman nasional, termasuk Pedoman Nasional Pengendalian COVID-19, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, serta Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat, termasuk pedoman dan panduan World Health Organisation (WHO) mengenai penanganan COVID-19. Pedoman ini wajib diimplmentasikan oleh seluruh lembaga rehabilitasi narkoba yang menyediakan layanan rawat inap, rawat jalan, penjangkauan, rumah singgah dan kegiatan lainnya.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam layanan rawat inap:

  • Menerapkan pembatasan jumlah total populasi orang maksimal setengah dari total kapasitas fasilitas serta menerapkan minimal jarak selama berinteraksi antara satu orang yang lain.
  • Standar prosedur kegiatan edukasi, konseling, terapi kelompok, dll dengan mencantumkan protokol kesehatan dengan  memperhatikan ketentuan jarak aman antara pemberi layanan dengan klien, maupun antara klien dengan sesama klien. Semua peserta kegiatan diwajibkan untuk menggunakan masker yang terstandar dan diprioritaskan untuk melaksanakan kegiatan di ruang terbuka dengan sirkulasi udara yang baik dengan perkiraan setengah  dari total kapasitas ruang. Selain itu, turut diwajibkan bagi seluruh penghuni dalam fasilitas rehabilitasi untuk menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan setiap sebelum dan sesudah kegiatan.
  • Melakukan proses wawancara awal (skrining) secara intensif dan terjadwal kepada tiap klien yang ada minimal dua kali dalam seminggu untuk memantau gejala yang mungkin timbul, kontak dengan orang yang beresiko dan lainnya.
  • Penerimaan klien baru mengikuti ketentuan protokol kesehatan 
  • Meniadakan unjungan atau setidaknya membatasi jumlah tamu/keluarga yang berkunjung dengan tetap mengikuti ketentuan protokol kesehatan 
  • Menerapkan ketentuan protokol kesehatan  bagi petugas yang keluar/masuk ke dalam fasilitas
  • Memastikan memiliki kapasitas tenaga kesehatan (tetap/tidak tetap) yang dapat menangani permasalahan COVID-19
  • Menyediakan ruangan khusus dengan kapasitas 1 orang tiap kamar (bila memungkinkan) bilamana lembaga tetap mengoperasikan layanan rawat inap dan menjalankan prosedur ketat dalam melakukan penerimaan klien baru (pemeriksaan suhu badan, masker, antigen)
  • Menyediakan APD sesuai ketentuan yang tersedia dan mudah diakses (masker, hand sanitizer)

Rawat jalan dan Rumah Singgah Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam layanan rawat jalan dan rumah singgah: Pembatasan jumlah klien yang mengakses layanan dengan pembuatan jadwal individual per-harinya. Metode pelayanan (tatap muka atau daring) – lihat pada bagian komponen layanan

Home-visit Memperhatikan situasi dan resiko yang mungkin terjadi di luar kendali pemberi layanan. Prosedur pelaksanaan tetap harus atas persetujuan pihak yang dikunjungi dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Namun mengingat resiko yang mungkin terjadi baik terhadap pemberi atau penerima layanan. pemberian layanan Home-Visit atau kunjungan ke rumah klien tidak direkomendasikan selama masa pandemi dan sangat dimungkinkan untuk mengubah ke dalam metode online.

Penjangkauan program penjangkauan dengan mekanisme “turun lapangan” tidak direkomendasikan selama pandemi. Kegiatan penjangkauan yang paling memungkinkan untuk dilakukan selama pandemi adalah dengan melakukan kegiatan secara virtual. Penjangkauan pun mungkin terbatas pada pemberian informasi dan edukasi melalui platform media sosial.

Penanganan Staff  dan  klien yang terindikasi COVID19 berdasarkan skrining awal atau pemeriksaan PCR (Memenuhi kriteria Orang dalam pemantauan dana tau pasien dalam pengawasan)

  • Pemantauan risiko berdasarkan wawancara, pemeriksaan antigen, pemeriksaan gejala yang timbul atau mungkin PCR dilakukan secara berkala bagi staf/petugas dan klien yang berada di dalam atau yang memiliki mobilisasi tinggi diluar fasilitas Rehabilitasi (in atau out-patient).
  • Mencantumkan kewajiban penerapan prosedur isolasi diri, masker, jarak sosial, kebersihan diri (cuci tangan) yang terpantau secara intensif. Hal lain yang patut dilakukan adalah  konsultasikan dengan dokter bilamana ditemukan gejala oleh individua tau kelompok dan bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan dan layanan isolasi mandiri diluar fasilitas
  • Penegakan diagnosis: Penegakan diagnosis awal dapat menggunakan platform konsultasi online seperti Halodoc, Alodoc, Yesdoc dll. Ini sejalan dengan anjuran untuk meminimalisasi datang ke penyedia layanan kesehatan (puskesmas atau Rumas Sakit) jika tidak dalam kondisi darurat
  • Rujuk klien atau staf ke penyedia layanan kesehatan setelah mendapat rekomendasi dari dokter melalui platform konsultasi online.

Publikasi: Ashefa Griya Pusaka

Scroll to Top