Sebuah tinjauan hukum
Pengertian korban penyalahgunaan Narkotika tidak dapat ditemukan pada ketentuan umum pada pasal 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, namun pengertian Korban penyalahgunaan Narkotika dapat dilihat pada bagian penjelasan dari pasal 54 Undang-undang Narkotika, yang menjelaskan bahwa “korban penyalahgunaan Narkotika ialah seorang yang secara tidak sengaja dan bukan atas kemauannya sendiri menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika akibat dari bujukan, diperdayai, dibohongi, pemaksaan, dan/atau pengancaman untuk menggunakan Narkotika.”
Frase korban penyalahguna narkotika turut disebut dalam surat edaran mahkamah agung no. 4 tahun 2010 sebagaimana telah diubah melalui surat edaran mahkamah agung no. 3 tahun 2011 yang mengatur mengenai prosedur dan mekanisme penempatan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam panti rehabilitasi. Kebijakan yang berlaku internal di Mahkamah Agung secara eksplisit telah mencantumkan korban penyalahguna narkotika sebagai salah satu kriteria yang memiliki hak atas rehabilitasi atau dengan kata lain implementasi dari pendekatan restorative justice system.
Yang cukup menarik untuk ditelaah secara hukum adalah proses pembuktian bagi tersangka atau terdakwa yang dikategorikan sebagai korban penyalahguna narkotika. Sesuai dengan definisi yang tercantum dalam penjelasan UU No. 35 tahun 2009, bahwa unsur-unsur yang tercantum dalam definisi tersebut seperti seseorang, secara tidak sengaja, menyalahgunakan narkotika, akibat bujukan, diperdaya, ditipu, pemaksaan dan/atau ancaman.
Berdasarkan teori hukum pembuktian, pembuktian harus menentukan dengan tegas kepada siapa beban pembuktian (burden of proof, burden of producing evidence) harus diletakkan. Hal ini disebabkan oleh penempatan beban pembuktian oleh hukum secara langsung dan tidak lansgung akan menentukan bagaimana akhir dari satu proses hukum acara pidana di pengadilan.
Tujuan dari pembuktian ialah memberikan potret yang jelas terkait dengan kebenaran atas satu peristiwa pidana, sehingga dari peristiwa tersebut dapat diperoleh fakta yang dapat diterima secara logis. Pembuktian memiliki makna bahwa memang benar suatu peristiwa pidana terjadi dan memang terdakwa yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana tersebut, sehingga berakibat terdakwa harus mempertanggungjawabkannya sesuai ancama pidana yang berlaku.
Pembuktian itu sendiri meliputi ketentuan-ketentuan yang mencantumkan dan menjelaskan cara-cara sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan. Proses pembuktian itu sendiri juga berisi syarat-syarat mengenai alat bukti yang sah dan sesuai sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan dan digunakan oleh hakim untuk membuktikan kejahatan yang didakwakan.
Frase korban penyalahguna narkotika tentunya tidak dapat dilepaskan dari definisi korban sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang perlindungan saksi dan korban melalui Undang-undang No. 31 tahun 2014 yang telah diubah ke dalam Undang-undang No. 13 tahun 2006 yang menyatakan bahwa korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Pembuktian yang sepatutnya dipenuhi dalam proses acara pidana bagi terdakwa yang diduga termasuk dalam kriteria korban penyalahguna narkotika selain dari alat bukti yang terkait dengan kepemilikan dan penguasaan atas narkotika adalah adanya proses pembuktian terkait adanya unsur diperdayai, dibujuk, atau dipaksa sebagaimana tercantum dalam definisi korban penyalahgunaan narkotika. Menariknya untuk dapat mengetahui dan membuktikan adanya unsur-unsur tersebut tentuanya harus ada pihak lain yang telah terbukti memperdaya, membujuk atau memaksa seseorang untuk menggunakan narkotika.
Kemungkinan lain yang terjadi adalah, bilamana tidak ada pihak lain yang tertangkap yang diduga melakukan kejahatan memperdaya, membujuk atau memaksa seseorang untuk menggunakan narkotika, maka terdakwa yang diduga korban penyalahguna narkotika memiliki beban untuk membuktikan bahwa dirinya adalah korban yang telah diperdayai, dibujuk, atau dipaksa untuk menggunakan narkotika, yang tentunya sangat sulit.
Melihat kompleksitas dari implementasi pemenuhan hak rehabilitas bagi korban penyalahguna narkotika, definisi korban dalam Undang-undag narkotika dinilai berbanding terbalik dengan definisi korban dalam ilmu viktimologi yang mendefinisikan bahwa yang dimaksud korban tidak selalu harus melibatkan adanya pihak lain sebagai pelaku kejahatan yang menimbulkan kerugian materiil, fisik, kesehatan dan lainnya terhadap korban, melainkan tanpa ada keterlibatan pihak lain sebagai pelaku kejahatan pun seseorang dapat menjadi korban.
Menurut wakil Menteri hukum dan HAM, Prof. Edward Hiariej, penggunaan narkotika adalah salah satu bentuk kejahatan yang unik dikarenakan ia adalah kejaatan yang tidak memiliki korban sebagai objeknya, “pengguna narkotika adalah korban atas perbuatannya sendiri,….”. Pernyataan ini sesuai dengan tipologi korban tipologi korban yang diindentifikasikan menurut keadaan dan status korban, yang salah satunya yaitu self victimizing victim, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.
Berdasarkan penjabaran teori diatas maka dapat dinilai apakah definisi korban dalam Undang-undang Narkotika sesuai dengan teori tentang korban atau sebaliknya. Cukup membingungkan bilamana, seseorang yang dikategorikan sebagai korban sebagaimana definisi korban penyalahguna narkotika dalam Undang-undang narkotika harus menjalani proses hukum atau rehabilitasi untuk penggunaan narkotika kali pertama akibat diperdaya, dibujuk atau mungkin dipaksa.
Rehabilitasi Narkotika sebagai Implementasi Keadilan Restoratif
Keadilan restoratif adalah suatu pendekatan keadilan di mana salah satu tanggapan terhadap suatu kejahatan adalah dengan mengadakan pertemuan antara korban dan pelaku, terkadang dengan perwakilan masyarakat luas. Tujuannya adalah bagi mereka untuk berbagi pengalaman tentang apa yang terjadi, untuk mendiskusikan siapa yang dirugikan oleh kejahatan dan untuk menciptakan konsensus tentang apa yang dapat dilakukan pelaku untuk memperbaiki kerugian dari pelanggaran tersebut. Ini mungkin termasuk pembayaran ganti rugi yang diberikan dari pelaku kepada korban, permintaan maaf dan perubahan lainnya, serta tindakan lain untuk memberikan kompensasi kepada mereka yang terkena dampak dan untuk mencegah pelaku menyebabkan kerugian di masa depan.
Program keadilan restoratif bertujuan untuk membuat pelaku bertanggung jawab atas tindakan mereka, untuk memahami kerugian yang mereka timbulkan, untuk memberi mereka kesempatan untuk menebus kesalahan pada diri mereka sendiri dan untuk mencegah mereka dari menyebabkan kerugian lebih lanjut. Bagi korban, tujuannya adalah untuk memberi peran aktif kepada mereka dalam proses tersebut dan untuk mengurangi perasaan cemas dan tidak berdaya.
Keadilan restoratif didasarkan pada teori alternatif dari metode peradilan tradisional, yang sering berfokus pada retribusi. Namun, program keadilan restoratif dapat melengkapi metode tradisional, dan telah diperdebatkan bahwa beberapa kasus keadilan restoratif merupakan hukuman dari perspektif beberapa posisi tentang apa hukuman itu.
Penilaian akademik terhadap keadilan restoratif adalah positif. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa hal itu membuat pelaku kejahatan cenderung tidak mengulangi lagi. Sebuah studi tahun 2007 juga menemukan bahwa pendekatan keadilan restoratif memiliki tingkat kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku kejahatan yang lebih tinggi daripada criminal justice system.
Dalam perkara penggunaan narkotika di Indonesia saat ini, Undang-undang Narkotika masih menempatkan pengguna narkotika dalam posisi yang rentan dengan ancaman pidana penjara. beberapa terobosan yang telah dikembangkan oleh beberapa instansi dalam upaya penerapan keadilan restoratif bagi pengguna narkotika antara lain diterbitkannya pedoman kejaksaan no 18 tahun 2021 tentang penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif. Selain kejaksaan, POLRI sendiri sebagai garda terdepan penegakan hukum sudah mengeluarkan beberapa pedoman terkait penerapan keadilan restoratif melalui Peraturan Kabareskrim Polri No: 01/ 2016 tentang Standar Operasional Prosedur Penanganan Pecandu dan Korban Penyalah Guna Narkotika ke Lembaga Rehabilitasi. Kemudian, Surat Edaran Kabareskrim No: SE/01/II/ 2018 perihal petunjuk rehabilitasi bagi pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika, serta Peraturan Kepolisian (Perkap) No.8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Penerapan pidana penjara terhadap pengguna narkotika selama ini dinilai menimbulkan masalah dan beragam isu baru yang sangat kompleks. Hal tersebut dapat diihat dari kondisi lembaga pemasyarakatan saat ini yang belum memisahkan antara warga binaan dari kasus pidana umum dan kasus narkotika, masih ditemukannya kasus-kasus peredaran dan penggunaan narkotika dalam lembaga pemasyarakatan, serta fenomena kelebihan kapasitas yang dialami oleh mayoritas lembaga pemasyarakan di Indonesia.
Upaya rehabilitas narkotika bagi pengguna dinilai sebagai salah satu metode yang telah teruji dan dinilai efektif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pengguna narkotika. Pelaksanaan program rehabilitasi itu sendiri merupakan salah satu konsep dari keadilan restoratif yang bertujuan untuk memulihkan keadaan korban (yang dalam hal ini pengguna narkotika itu sendiri) ke dalam keadaan semula (pulih). Selain bagi pengguna narkotika, keadilan restoratif juga bertujuan untuk mengembalikan kondisi masyarakat atau kelompok yang telah terganggu akibat dari penggunaan narkotika yang dilakukan korban.
Saat ini konsep keadilan restoratif memang dibutuhkan dalam upaya penyelesaian beragam tindak pidana terutama tindak pidana tertentu yang bila ditangani secara retributive dinilai kurang tmemberikan manfaat yang berarti, melainkan justru sebaliknya menimbulkan suatu kerugian baru baik bagi korban maupun kepada negara termasuk dalam hal ini yaitu kejahatan narkotika khususnya pengguna. Menurut Adrianus Meliala keadilan restorative sangat dibutuhkan saat ini setidaknya karena disebabkan 4 faktor yaitu Pemidanaan membawa masalah lanjutan bagi keluarga pelaku kejahatan, Pemidanaan pelaku kejahatan tidak melegakan atau menyembuhkan korban, Proses formal sistem peradilan pidana terlalu lama, mahal dan tidak pasti, Pemasyarakatan sebagai kelanjutan pemidanaan juga berpotensi tidak tidak menyumbang apa-apa bagi masa depan narapidana dan tata hubungan dengan korban.
Bertolak dari urgensi penerapan restorative justice tersebut maka dapat kita ketahui manfaat penerapan keadilan restorative terhadap suatu tindak pidana yaitu mengefisiensikan kebutuhan dan pengeluaran anggaran belanja Pemerintah, menekan stiga diskriminasi terhadap pelaku kejahatan, mengurangi jumlah perkara yang ditangani oleh jajaran Mahkamah agung, mencegah dan menurunkan situasi over kapasitas lembaga pemasyarakatan serta melakukan pemberdayaan dan meningkatkan kesejahteraan terhadap terakan korban dan keluarganya
Jika ditinjau dari segi kesehatan penyalahguna narkotika bagi diri sendiri terutama mereka yang sudah mengalami ketergantungan dikategorikan sebagai chronicle relapsing brain diseases gangguang kesehatan kronis pada otak yang bersifat kambuhan. Kondisi ini menimbulkan gejala dimana tubuh yang dikontrol oleh otak yang telah terganggu karena penggunaan narkotika mengakibatkan toleransi dosis pada tubuh sehingga menimbulkan adanya keinginan dan kebutuhan untuk kembali menggunakan narkotika nsumsi secara terus-menerus. Akibatnya, pemidanaan tidak akan serta merta membuat orang yang ketergantungan narkotika tersebut pulih dan tidak akan mengalami kekambuhan, namun ketergantungan ini hanya dapat ditanggulangi dengan proses medis dan sosial.
Baca juga :
- Penggunaan Narkotika pada Populasi Kunci HIV
- 6 Alasan Mengapa Narkotika dan Psikotropika Dilarang Peredarannya
- Ini Perbedaan Narkotika dan Psikotropika, yang Wajib Kamu Pahami!
- Narkotika Juga Bisa Digunakan Dalam Terapi Medis
Publikasi: Ashefa Griya Pusaka