Penggunaan Narkotika pada Populasi Kunci HIV - Ashefa Griya Pusaka

Penggunaan Narkotika pada Populasi Kunci HIV

Penggunaan-Narkotika-pada-Populasi-Kunci-HIV
Share on:

Penggunaan Narkotika pada Populasi Kunci HIV, Penggunaan narkoba merupakan salah satu faktor beresiko dalam penularan human immunodeficiency virus (HIV). Studi klinis telah menunjukkan bahwa bahkan di antara pasien yang patuh terapi antiretroviral (ART), penggunaan narkoba dapat meningkatkan jumlah viral load[1], mempercepat perkembangan penyakit, dan meningkatkan resiko kematian pada orang dengan HIV yang telah masuk dalam fase AIDS

Metode penggunaan narkoba yang berisiko meningkatkan penularan HIV, seperti berbagi jarum suntik yang tidak steril serta perilaku seksual beresiko dengan berganti pasangan. Penggunaan narkotika yang dapat mengubah persepsi, mood dan cara berpikir sangat mempengaruhi cara kerja otak dan perilaku.  Penggunaan Narkotika dengan cara suntik dapat menjadi jalur langsung penularan HIV jika orang berbagi jarum suntik yang terkontaminasi HIV.

Penggunaan Narkotika pada Populasi Kunci HIV
Penggunaan Narkotika pada Populasi Kunci HIV

Selain daripada perilaku penggunaan narkotika dengan cara suntik yang beresiko, beberapa jenis narkotika yang tidak disuntikan turut memiliki peran dalam terjadinya penularan HIV. Jenis narkotika dan resiko tersebut antara lain:

Alkohol. Konsumsi alkohol yang berlebihan, terutama dapat menjadi faktor risiko tinggi dalam penularn HIV, hal ini terkait dengan perilaku seksual berisiko yang sangat mungkin dilakukan saat terintoksikasi alkohol.

Metamfetamin. Sabu dikaitkan dengan perilaku seksual berisiko yang meningatkan  risiko penularn HIV yang lebih tinggi. Jenis narkotika ini  dapat disuntikkan walaupun pada umumnya digunakan secara oral. Efek stimulan yang ditimbulkan dari metamfetamin ditengarai menjadi alasan bagi beberapa orang untuk meningkatkan libido. Baca juga Kenali Apa Itu Obat Stimulan dan Jenisnya

Inhalansia. Penggunaan amil nitrit (“popper”) telah lama dikaitkan dengan perilaku seksual berisiko dan penyakit menular seksual yang pada umumnya banyak dilakukan oleh komunitas LSL (Lelaki seks dengan Lelaki), atau Biseksual

Definisi populasi kunci HIV yang dimaksud dalam tulisan ini mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang menyatakan bahwa populasi kunci yang dimaksud ialah pengguna narkotika dengan cara suntik, wanita pekerja seks, pelanggan seks, waria dan lelaki seks dengan lelaki serta warga binaan pemasyarakatan. Adapun latar belakang pengklasifikasian populasi kunci dalam strategi penanggulangan HIV dalam peraturan ini disebabkan oleh perilaku beresiko tinggi menularkan atau tertular HIV yang dilakukan oleh setiap populasi yang disebutkan diatas.

Seperti yang diketahui bahwa penularan HIV tidaklah semudah penularan virus influenza. Harus terpenuhinya syarat penularan untuk dapat menularkan atau tertular HIV, yaitu hubungan seksual beresiko (berganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom), penggunaan jarum suntik secara bergantian (melalui penggunaan narkotika suntik secara bergantian, jarum tato dll), transfusi darah yang terkontaminasi virus HIV, serta persalinan dari ibu hamil. Persyaratan penularan tersebut dapat diminimalisir dengan obat Antiretroviral (ARV) yang menekan jumlah virus HIV dalam tubuh (Vural Load) hingga ke level tidak terdeteksi.

Sampai dengan saat ini belum ada penelitian yang secara komprehensif memotret prevalensi penggunaan narkotika pada populasi kunci selain pengguna narkotika suntik itu sendiri. Beberapa observasi dilakukan secara terpisah pada masing-masing populasi kunci. Sebagai contoh, hasil penelitian yang dilakukan di manado pada tahun 2014 menunjukan prevalensi penggunaan narkotika (magic mushroom, ekstasi dan sabu) pada wanita pekerja seks adalah sejumlah 3,3%. Selain itu pada populasi kunci waria dan LSL, berdasarkan pernyataan yang disampaikan langsung oleh informan kunci bahwa “penggunaan narkotika (sabu atau ganja) pada waria pekerja seks umum dilakukan, biasanya hal ini dilakukan supaya kuat dan tahan lama atau mungkin untuk meningkatkan daya imajinasi”.

Beberapa temuan diatas, menunjukan data yang sinkron dengan fenomena chemsex dalam artikel sebelumnya. Di saat prevalensi HIV pada pengguna narkotika suntik itu sendiri sudah berada di titik terendah (kurang dari 1%), cukup disayangkan bilamana beberapa perilaku beresiko akibat penggunaan narkotika pada populasi kunci lainnya belum terpotret secara komprehensif mengakibatkan belum optimalnya upaya pencegahan yang spesifik ditujukan kepada penggunaan narkotika pada populasi kunci lain.

Program pengurangan dampak buruk narkotika (harm reduction) sebagaimana diamanatkan dalam peraturan Menteri Kesehatan No. 55 tahun 2015 sudah mulai mengembangkan sasaran program pada penggunaan narkotika secara non suntik (oral/hisap). Konsep pencegahan melalui edukasi, sosialisasi serta pemeriksaan kesehatan menjadi prioritas utama dalam layanan ini. Hal lain yang perlu diperhatikan dan ditingkatkan adalah pengembangan layanan rehabilitasi yang ditujukan bagi pengguna narkotika dengan orientasi seksual tertentu (waria / gay).

Hingga saat ini, beberapa tantangan yang terjadi dalam lingkup rehabilitasi pada saat menerima pasien/klien dengan orientasi seksual tertentu (waria/gay) adalah belum adanya sarana prasarana khusus yang disediakan bagi mereka. Pilihan penempatan ruangan hanya tersedia bagi pria atau wanita, hal ini tentunya akan berdampak pada kenyamanan dan rasa aman bagi penerima layanan saat berada dalam layanan rehabilitasi narkoba. Peningkatan kualitas layanan rehabilitasi tentunya harus memperhatikan klien dengan kebutuhan tertentu tanpa ada diskriminasi dan penghakiman pada beberapa profil pasien/klien yang mungkin tidak sesuai dengan nilai individu penyedia jasa layanan rehabilitasi narkotika.

Pengguna Narkotika dalam Rehabilitasi

(Tinjauan atas upaya perlindungan konsumen)

Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai hak-hak konsumen, begitu pula dengan kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Melalui peraturan perundang-undangan tersebut, pasien sebagai penerima layanan jasa medis sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan turut dikategorikan sebagai konsumen. Kedua Undang-undang tersebut memberikan peranannya sebagai peraturan yang mengatur masalah perlindungan hukum terhadap pasien atas kerugian atau mungkin jaminan terhadap hak atas kualitas layanan kesehatan yang berbasis bukti ilmiah.

Pengaturan mengenai rehabilitasi narkotika sebagaimana tercantum dalam Undang-undang tentang Narkotika mengklasifikasikan rehabilitasi menjadi 2 bagian yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Akibat hukum yang ditimbulkan dari pengklasifikasian tersebut adalah terdapatnya perbedaan peraturan turunan yang diperintahkan oleh Undang-undang yang dalam hal ini adalah Peraturan Menteri kesehatan bagi rehabilitasi medis dan Peraturan Menteri sosial bagi rehabilitasi sosial.

Baik undang-undang narkotika atau peraturan turunannya tidak mencantumkan pengaturan secara detail perihal perlindungan pengguna narkotika sebagai konsumen dalam layanan rehabilitasi narkotika. Hal ini tentunya menempatkan pengguna narkotika dalam posisi yang rentan terlanggar hak-hak nya sebagai konsumen yang mengakses jasa layanan rehabilitasi narkotika.

Khusus pelaksanaan rehabilitasi medis, upaya perlindungan hak pengguna narkotika sebagai pasien tunduk pada beberapa peraturan perundang-undangan yang cukup jelas mengatur hak-hak pasien baik yang mengakses fasilitas kesehatan milik pemerintah dan/atau swasta. Perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen didahului dengan adanya hubungan antara dokter dengan pasien.[2] Selain hubungan hukum antara dokter dengan pasien, sangat perlu diperhatikan bahwa peran rumah sakit dalam menerapkan perlindungan terhadap pasien sangatlah penting dalam upaya menunjang kesehatan masyarakat umumnya.

Menurut Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konseumen, pasien rumah sakit diklasifikasikan sebagai konsumen yang menggunakan barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat yang tidak untuk diperdagangkan. Beberapa peraturan perundang-undangan lain yang mengatur masalah perlindungan pasien seperti Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik kedokteran dan Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Yang perlu diperhatikan adalah pelaksanan rehabilitasi sosial khususnya yang dilakukan oleh pihak swasta atau lembaga swadaya masyarakat. HIngga tahun 2019, jumlah rehabilitasi sosial milik masyarakat yang ditunjuk oleh Kementerian sosial melalui keputusan Menteri Sosial No. 19/HUK/2019 tentang institusi penerima wajib lapor rehabilitasi sosial adalah 189 lembaga, jumlah ini belum termasuk rehabilitasi sosial milik masyarakat yang belum ditunjuk sebagai institusi penerima wajib lapor namun tetap beroperasi memberikan jasa layanan rehabilitasi sosial.

Beberapa permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan program rehabilitasi khususnya kerugian yang dialami oleh pengguna narkotika sebagai konsumen yang mengakses jasa layanan rehabilitasi narkotika antara lain kerugian akibat maladministrasi, kerugian atas kualitas layanan yang dinilai belum terstandar, kerugian yang dialami akibat tindakan pelanggaran hukum yang diduga dilakukan oleh oknum pemberi jasa layanan rehabilitasi narkotika dan lainnya.

Pada tahun 2017 Ombudsman Republik Indonesia melakukan kajian atas pelaksanaan pelayanan public yang dalam hal ini adalah layanan rehabilitasi narkotika melalui program wajib lapor sebagaimana diamanatkan melalui Peraturan pemerintah No. 25 tahun 2011. Komisioner Ombudsman menyampaikan bahwa salah satu temuan hasil investigasi tersebut, antara lain tarif rehabilitasi yang cenderung mahal yang dinilai rentan dengan  perbedaan status ekonomi.  Selain itu, beberapa temuan dalam investigasi ini yaitu dukungan APBN selama ini dinilai belum menghasilkan kualitas layanan rehabilitasi narkotika yang optimal dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan.

Berdasarkan temuan dari hasil investigasi yang dilakukan, Ombudsman RI telah menyampaikan rekomendasi kepada instansi terkait yang dalam hal ini adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial dan BNN RI yang antara lain penguatan dukungan anggaran bagi pelayanan serta sarana prasarana jasa layanan rehabilitasi narkotika yang mencukupi, mengevaluasi pelayanan rehabilitasi yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta, serta penerapan standar layanan publik sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang No. 25 tahun 2009.

Mengingat investigasi yang dilakukan oleh Ombudsman RI terbatas pada layanan rehabilitasi narkotika yang diselenggarakan oleh Pemerintah, maka sudah sepatutnya Pemerintah secara bersama-sama  dengan komponen masyarakat sipil memperhatikan dan melakukan evaluasi independen terhadap rehabilitasi narkotika yang dikelola oleh pihak swasta. Beberapa tantangan yang masih terjadi khususnya dalam jasa layanan rehabilitasi milik swasta antara lain tidak seimbangnya antara tarif layanan yang ditetapkan dengan kualitas sarana prasarana atau standar kualitas layanan dan SDM yang memberikan jasa layanan.

Sebagai salah satu upaya perlindungan terhadap pasien rehabilitasi sebagai konsumen, sudah sepatutnya pemerintah melalui Badan Narkotika Nasional sebagai instansi yang diberikan kewenangan melakukan penguatan rehabilitasi medis dan sosial turut menggandeng Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Menurut hemat penulis, mendiseminasikan rehabilitasi saja belum cukup tanpa dibarengi dengan sosialisasi kanal pengaduan bagi konsumen yang mengakses jasa layanan rehabilitasi bilamana mengalami kerugian-kerugian dalam layanan.


[1] Viral load adalah istilah yang digunakan untuk merujuk jumlah / banyaknya virus di dalam darah seseorang. Jadi viral load HIV adalah jumlah / banyak virus HIV yang ada di dalam tubuh atau seseorang yang telah terinfeksi HIV.

[2] Syachrul Machmud, Penegak hukum dan perlindungan hukum bagi dokter yang diduga melakukan malprktek, Bandung, Mandar Maju, 2008, hal. 1

Baca juga:

Publikasi: Ashefa Griya Pusaka

Scroll to Top