Metode Rehabilitasi Narkotika #Chapter3 - Ashefa Griya Pusaka

Metode Rehabilitasi Narkotika #Chapter3

Metode Rehabilitasi Narkotika #Chapter3
Share on:

Harm Reduction; Sebuah Pro Kontra

Harm Reduction atau biasa dikenal Program Pengurangan dampak buruk napza (PDBN) mengacu pada kebijakan, program, dan praktik yang bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif kesehatan, sosial, dan hukum yang terkait dengan penggunaan narkotika, dan kebijakan narkotika. Program Pengurangan dampak buruk didasarkan pada keadilan dan hak asasi manusia. Program ini berfokus pada perubahan positif dan bekerja dengan orang-orang tanpa menghakimi, paksaan, diskriminasi, atau prasyarat yang berorientasi pada total abstinensia  sebagai prasyarat dukungan.

Program pengurangan dampak buruk mencakup berbagai layanan dan praktik kesehatan dan sosial yang berlaku terkait narkotika. Ini termasuk, tetapi tidak terbatas pada, penjangkauan, pemeriksaan HIV / Hepatitis C / Infeksi menular seksual, Pengobatan HIV / Hepatitis C, layanan alat suntik steril, pencegahan overdosis, dukungan psikososial, dan penyediaan informasi tentang penggunaan narkotika yang lebih aman. Pendekatan seperti ini hemat biaya, berbasis bukti dan memiliki dampak positif pada kesehatan individu dan masyarakat.

Metode

Program ini mengimplementasikan  pendekatan kesehatan masyarakat yang terfokus pada pengurangan dampak buruk dan resiko yang mungkin terjadi terkait dengan penggunaan narkotika. Pengurangan dampak buruk mencakup banyak pilihan dan pendekatan. Hasil penelitian telah menunjukan bahwa implementasi program pengurangan dampak buruk tidak meningkatkan atau mendorong penggunaan narkotika.

Layanan pengurangan dampak buruk terbuka untuk semua orang yang menggunakan narkotika, pada setiap tahap penggunaan. Pengurangan dampak buruk mengakui bahwa pemulihan untuk setiap orang adalah berbeda. Layanan tersedia untuk seseorang yang menggunakan narkotika yang mungkin masih merasa ragu untuk mengakses layanan rehabilitasi residensial dalam kurun waktu tertentu.

Inisiasi awal diimplementasikannya program harm reduction bermula dari tingginya kasus penularan HIV dan penyakit penyerta lain di kalangan pengguna narkotika yang menggunakan dengan cara suntik. Perilaku resiko tinggi yang timbul dari penggunaan dengan cara suntik adalah bertukar alat suntik diantara sesama pengguna secara tidak steril. Salah satu upaya untuk menekan prevalensi HIV pada populasi pengguna narkotika suntuk adalah diimplementasikannya program pengurangan dampak buruk narkotika.

Istilah harm reduction muncul pada awal  1970an, dimana sebuah klinik ketergantungan obat memberikan resep heroin kepada para pengguna yang menjalani perawatan. Berawal dari layanan tersebut sejarah pengurangan dampak buruk pada Penasun kemudian terus berkembang terutama terkait dengan permasalahan ketergantungan narkotika dan epidemi HIV secara global.  World Health Organization (WHO) mendefinisikan bahwa program Pengurangan dampak buruk pada pengguna narkotika suntik  sebagai Konsep, yang diimplementasikan dalam area  kesehatan masyarakat, yang memiliki tujuan untuk mencegah dan/atau mengurangi dampak buruk kesehatan yang berkaitan dengan perilaku beresiko yang dilakukan. 10 Komponen dalam program pengurangan dampak buruk pada pengguna narkotika suntik merupakan intervensi yang komprehensif yang berorientasi pada upaya pencegahan penularan HIV dan infeksi lainnya.

Istilah harm reduction muncul pada awal  1970an, dimana sebuah klinik ketergantungan obat memberikan resep heroin kepada para pengguna yang menjalani perawatan. Berawal dari layanan tersebut sejarah pengurangan dampak buruk pada Penasun kemudian terus berkembang terutama terkait dengan permasalahan ketergantungan narkotika dan epidemi HIV secara global.  World Health Organization (WHO) mendefinisikan bahwa program Pengurangan dampak buruk pada pengguna narkotika suntik  sebagai Konsep, yang diimplementasikan dalam area  kesehatan masyarakat, yang memiliki tujuan untuk mencegah dan/atau mengurangi dampak buruk kesehatan yang berkaitan dengan perilaku beresiko yang dilakukan. 10 Komponen dalam program pengurangan dampak buruk pada pengguna narkotika suntik merupakan intervensi yang komprehensif yang berorientasi pada upaya pencegahan penularan HIV dan infeksi lainnya.

Konsep dari program Pengurangan Dampak Buruk Napza saat dimulai memiliki 3 ciri utama, yaitu (1) Memiliki tujuan pragmatis jangka pendek untuk mencegah laju penyebaran HIV, (2) Bekerja dengan hierarki sarana berikut untuk mencapai tujuan khusus Pertama, pengguna narkoba didorong untuk berhenti memakai narkoba, jika pengguna narkoba memutuskan tetap menggunakan narkoba, maka didorong untuk menghentikan penggunaan dengan cara menyuntik, jika pengguna narkoba memutuskan untuk tetap menggunakan narkoba dengan menyuntik, maka didorong dan dipastikan untuk tidak memakai atau berbagi peralatan suntiknya secara bergantian dengan pengguna lain dan terakhir, jika tetap terjadi penggunaan bergantian, maka pengguna narkoba didorong dan dilatih untuk mensterilkan peralatan suntiknya di antara setiap penggunaan serta (3) keterlibatan pengguna narkoba sebagai pelaku aktif dalam program, bukan hanya penerima layanan yang pasif

Implementasi program pengurangan dampak buruk di Indonesia awalnya mengundang pro-kontra mengingat tidak adanya keharusan untuk berhenti total dari layanan ini, sangat berbanding terbalik dengan beberapa model rehabilitasi yang diimplementasikan sebelumnya. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa program ini merupakan upaya untuk melegalisasi penggunaan narkotika, karena beberapa komponen pendekatannya yang salah satunya layanan alat suntuk steril terkesan mendukung penggunaan narkotika.

Namun, dibalik pro-kontra yang terjadi, upaya sosialisasi mengenai program pengurangan dampak buruk narkotika dan pengenalan akan konsep dan tujuannya memberikan pemahaman bahwasanya orientasi utama dari program ini adalah kesehatan masyarakat. Bahwa, pemerintah dan komponen masyarakat lainnya tidak dapat menutup mata bahwa penggunaan narkotika itu terjadi setiap hari serta resiko yang mungkin timbul dari penggunaan narkotika pun tidak hanya dialami oleh pengguna narkotika namun masyarakat secara luas.

Kedudukan Konselor Adiksi di Indonesia.

Konselor adiksi merupakan salah satu profesi yang bergerak di bidang penanggulangan narkotika khususnya rehabilitasi narkotika. Di dalam praktiknya, profesi ini dinilai cukup esensial di dalam penyelenggaraan rehabilitasi baik medis dan/atau sosial. Dapat dipastikan bahwa SDM inti dari setiap program rehabilitasi yang ada saat ini adalah konselor adiksi. Sayangnya fakta ini tidak didukung oleh pengaturan dan perlindungan hukum bagi profesi konselor adiksi melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengaturan mengenai standar SDM dalam penyelenggaraan rehabilitasi pun hanya ada di level Peraturan Menteri yang dalam hal ini memiliki perbedaan dilihat dari pendekatan yang dilakukan oleh Kementerian tekhnis tersebut (medis atau sosial). Tidak adanya pengaturan tentang standar SDM dalam penyelenggaraan rehabilitasi narkotika yang berlaku Nasional dan Umum dinilai dapat merugikan kedua belah pihak baik pemberi dan penerima layanan rehabilitasi.

Selayaknya sebuah profesi, Konselor Adiksi sudah sejak lama eksis sebagai salah satu tenaga kerja di dalam tataran praktik penyelenggaraan rehabilitasi narkotika, namun bila mengacu pada Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 11 menyatakan Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja, hal ini belum diatur secara Nasional bagi Profesi Konselor Adiksi.

Kekosongan hukum yang terjadi bagi profesi ini dapat berdampak negatif terhadap upaya mewujudkan dan meningkatkan kualitas layanan rehabilitasi narkotika yang professional dan berbasis bukti. Melalui kertas kebijakan ini, Ikatan Konselor Adiksi Indonesia (IKAI) sebagai Organisasi profesi konselor adiksi bertujuan memberikan pemahaman mengenai peran dan fungsi konselor adiksi dalam penyelenggaraan rehabilitasi narkotika serta mendorong Pemerintah untuk memasukan dan melegitimasi profesi konselor adiksi ke dalam rancangan Undang-undang Narkotika sebagai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku umum.

Penyalahgunaan Narkoba yang telah menjadi momok di Indonesia membutuhkan penanganan yang professional, mandiri dan tentunya berkompeten di bidangnya.  Rehabilitasi narkotika sebagai salah satu strategi Nasional di dalam menanggulangi permasalahan penggunaan narkotika tentunya diharapkan memiliki standar yang terukur dan berbasis bukti.

Pelaksanaan Program Rehabilitasi Narkotika bukan semata merawat seorang pengguna narkotika ke dalam fasilitas layanan kesehatan dan/atau sosial saja, melainkan juga memfasilitasi setiap orang yang mengakses layanan rehabilitasi untuk berproses melakukan perubahan baik dari sisi kesehatan, psikologis dan sosialnya.

Salah satu standar utama dalam pelaksanaan program rehabilitasi adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang bekerja di dalamnya. Selain professional di bidang medis, psikologis dan/atau sosial yang telah diatur di dalam masing-masing Peraturan pelaksananya, profesi konselor adiksi merupakan salah satu profesi yang telah diakui dalam tataran praktek namun belum ada pengakuan dari tataran kebijakan. Situasi ini tentu dapat menimbulkan risiko tersendiri baik bagi pasien yang mengakses layanan dan profesi itu sendiri. Beberapa permasalahan yang banyak terjadi antara lain Pelanggaran etika profesi terhadap pasien atau penerima layanan, Minimnya perlindungan hukum atas profesi konselor adiksi, Standar kompetensi yang belum merata dan Belum adanya Pengaturan tentang organisasi profesi.

Terkait dengan kompetensi profesi konselor sebagai profesional, komponen profesi konselor terdiri dari 3 unsur, yakni (1) Ilmu Pendidikan, (2) Substansi Profesi Konseling dan (3) Praktik Pelayanan konseling. Kompetensi profesi konselor yang dijelaskan diatas merupakan gambaran profesi konselor secara umum yang memiliki jalur pendidikan formal yang cukup jelas. Bagi Profesi konselor yang khusus menangani masalah ketergantungan narkotika, terdapat 12 fungsi utama yakni Skrining, Penerimaan Awal, Orientasi, Asesmen, Penyusunan Rencana Perawatan, Konseling, Konsultasi Profesional, Edukasi, Intervensi Krisis, Manajemen Kasus, Pelaporan dan pendokumentasian serta rujukan.

Sayangnya hingga saat ini, pengaturan mengenai konselor adiksi hanya tertera dalam peraturan Menteri pendayagunaan aparatur negara tentang asisten konselor adiksi dan konselor adiksi. Yang cukup menarik, peraturan Menteri ini mencantumkan norma baru mengenai profesi asisten dan konselor adiksi yang belum tercantum secara jelas di peraturan perundang-undangan diatasnya. Selain itu ruang lingkup kementerian pendayagunaan aparatur negara membatasi pengaturan mengenai konselor adiksi ini hanya terbatas pada konselor adiksi yang berstatus aparatur sipil negara dan tidak meliputi konselor adiksi yang non asn. 

Pengakuan de facto terhadap profesi ini tentunya harus dibarengi dengan upaya meningkatkan pengakuan secara de jure. Dimana perlu ada dasar hukum yang jelas yang mengatur soal profesi konselor adiksi, standar, hak dan kewajiban serta aturan dan etik yang berlaku selayaknya sebuah profesi yang bekerja di ranah public. Sampai saat ini masih terdapat kekosongan hukum atas profesi ini yang dinilai dapat berdampak pada kualitas layanan dan pengabaian terhadap hak atas perlindungan hukum bagi profesi terkait.

Butuh penanganan khusus ketergantungan NAPZA? Cek halaman resmi Ashefa Griya Pusaka di sini

Scroll to Top