Tim Asesmen Terpadu Dalam Upaya Pemenuhan Hak atas Rehabilitasi Narkotika
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang wajib lapor merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang tentang Narkotika yang memberikan delegasi untuk mengatur pelaksanaan sistem wajib lapor bagi pengguna napza. Pendelegasian kewenangan yang dilakukan oleh uu narkotika dalam Pasal 55 ayat (3) adalah delegasi kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan dari Undang-Undang kepada Peraturan Pemerintah.
Sistem Wajib lapor yang dimaksud dalam peraturan pelaksana ini terbagi menjadi:
- Wajib lapor yang harus dilakukan oleh Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah
- Wajib Lapor bagi Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Kedua wajib lapor di atas bertujuan untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui metode rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011, Wajib lapor didefinisikan sebagai kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima wajib lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Definisi ini mewajibkan orang tua/wali pecandu dan pecandu narkotika itu sendiri untuk mengakses layanan rehabilitasi medis dan sosial.
Undang-undang tentang Narkotika pasal 128 ayat (2) dan (3) memberikan pengecualian tuntutan pidana terhadap pecandu narkotika yang telah melakukan wajib lapor dan/atau mengakses layanan rehabilitasi, Pasal 128 Ayat (2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana dan Ayat (3) menyatakan bahwa Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
Pengecualian dan penghapusan tuntutan pidana dalam pasal ini merupakan salah satu upaya menjamin perlindungan hukum bagi pecandu narkotika untuk tidak dituntut pidana. Hal lainnya yang perlu digaris bawahi adalah sistem wajib lapor memang merupakan sistem yang memaksa pecandu narkotika untuk menjalani pengobatan atau perawatan di dalam rehabilitasi.
Sistem wajib lapor yang diterapkan berdasarkan Peraturan pemerintah No. 25 tahun 2011 mengatur pengguna/pecandu narkotika dan orang tua/wali untuk melakukan lapor diri ke institusi penerima wajib lapor yang ditunjuk oleh pemerintah. Aturan ini tidak dikhususkan untuk pengguna/pecandu narkoba yang tertangkap atau dalam proses hukum saja, melainkan ditujukan juga bagi mereka yang tidak dalam proses hukum.
Implementasi Tim Asesmen Terpadu
Mekanisme pelaksanaan asesmen yang dilakukan oleh tim asesmen terpadu berbeda dengan asesmen yang dilaksanakan oleh Institusi penerima wajib lapor sebagaimana dimaksud dalam pengertian wajib lapor. Dasar hukum penerapan tim asesmen terpadu mengacu pada Peraturan Bersama 7 Kementerian (Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung , Kepala Kepolisian dan Kepala Badan Narkotika Nasional) tahun 2014 yang mendefinisikan tim asesmen terpadu adalah tim yang terdiri dari Tim Dokter dan Tim Hukum Yang ditetapkan oleh pimpinan satuan kerja setempat berdasarkan surat keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Propinsi, Badan Narkotika Nasional Kab./Kota.
Tim asesmen terpadu bertugas untuk melakukan asesmen terhadap pecandu/penyalahguna narkotika yang menjadi tersangka/terdakwa dalam perkara pidana narkotika dengan beranggotakan unsur medis (dokter, psikolog dan/atau psikiater) dan unsur penegak hukum (penyidik kepolisian/BNN, kejaksaan, kementerian hukum dan HAM serta BAPAS bagi tersangka/terdakwa anak). Tugas dari masing-masing tim asesmen tersebut adalah :
- Tim medis bertugas melakukan asesmen dan analisis medis, psikososial serta merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi Penyalahguna Narkotika
- Tim hukum bertugas melakukan analisis dalam kaitan peredaran gelap narkotika dan Prekursor Narkotika dan Penyalahgunaan Narkotika berkoordinasi dengan Penyidik yang menangani perkara
Pasal 9 ayat (2) menyatakan bahwa Tim Asesnen terpadu sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) mempunyai kewenangan;
- Atas permintaaan Penyidik untuk melakukan analisi peran seseorang yang ditangkap atau tertangkap tangan sebagai korban Penyalahgunaaan Narkotika, Pecandu Narkotika atau pengedar Narkotika.
- Menentukan kriteria tingkat keparahan pengguna Narkotika sesuaai dengan jenis kandungan yang dikomsumsi, situasi dan kondisi ketika ditangkap pada tempat kejadian perkara ;dan
- Merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi terhadap pecandu Narkotika dan korban Penyalahgunaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada huruf b.
Berdasarkan aturan dalam pasal diatas, jelas bahwa kewenangan tim asesmen terpadu untuk melakukan asesmen terhadap tersangka/terdakwa korban penyalahgunaan/pecandu narkotika diperoleh berdasarkan permintaan penyidik (Polri atau BNN). Keluaran dari asesmen yang dilakukan oleh tim asesmen terpadu berupa rekomendasi untuk menjalankan rehabilitasi atau tidak tanpa menghapus proses peradilan yang berjalan.
Kiat memilih tempat rehabilitasi
Menghadapi “makelar” berkedok Rehabilitasi Narkotika
Fenomena yang terjadi saat ini dimana banyak ditemukan praktek pungli dan pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum lembaga rehabilitasi narkotika dengan berbagai macam alasan. Penetapan tarif yang selangit kepada keluarga korban penyalahgunaan Narkotika memberikan kesan “aji mumpung”. Seorang remaja yang terdeteksi positif memakai narkotika jenis Sabu, Setelah menjalani penyidikan dan lalu dikirim ke salah satu rehabilitasi narkotika swasta di bilangan Jakart. Setelah menginap selama tiga hari, Pihak lembaga menagih 5 juta rupiah agar anaknya dapat langsung pulang kerumah tanpa harus berlama lama menjalani rehabilitasi dengan berdalih cukup menjalani rawat jalan.
Praktek-praktek seperti contoh diatas ternyata tidak hanya dialami oleh 1-2 orang, melainkan banyak dialami oleh pengguna narkotika yang mayoritas bermasalah dengan hukum atau yang merupakan rujukan dari penegak hukum. Mulai dari nominal jutaan hingga ratusan juta untuk harga sebuah layanan rehabilitasi.
Apakah layanan rehabilitasi memang mahal? Pertanyaan tersebut tentu dapat terjawab bilamana orang tua/keluarga yang mau mengakses rehabilitasi untuk anaknya dapat melakukan tindakan selayaknya seorang konsumen yang melakukan perbandingan harga dan kualitas layanan daiantara beberapa penyedia layanan rehabilitasi. Walaupun tidak bisa dipungkiri, terkadang mereka terjebak dalam satu situasi dimana mereka tidak dapat memilih dan membandingkan.
Bagi pengguna narkotika yang tersandung kasus hukum, tentunya terhambat dengan proses pencarian lembaga rehabilitasi. Pihak keluarga tetap dapat mengajukan upaya rehabilitasi kepada penyidik bilamana alat bukti memenuhi syarat pemenuhan hak rehabilitasi. Mekanisme dalam proses acara pidana bagi pengguna narkotika yang tertangkap dalam kasus penyalahgunaan narkotika yang antara lain menyebutkan bahwa proses penempatan ke dalam lembaga rehabilitasi tidak serta merta menghentikan perkara. Penempatan tersebut merupakan proses penahanan selama menunggu proses persidangan.
Proses penunjukan lembaga rehabilitasi yang dilakukan oleh Penyidik yang umumnya membatasi pihak keluarga untuk memilih tempat rehabilitasi yang dinilai berkualitas baik dan biaya yang terjangkau. Penyelesaian perkara di tahap penyidikan dapat dilakukan dengan kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik. Jika ternyata dari hasil penyidikan, tidak ditemukan cukup bukti untuk meneruskan perkara atau bukti yang dimiliki oleh penyidik tidak memenuhi persyaratan (minimal 2 alat bukti yang sah) untuk membuktikan perkara tersebut, maka penyidik memiliki kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. SP3 atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan adalah surat pemberitahuan yang dilayangkan oleh penyidik kepada penuntut umum yang isinya menjelaskan bahwa perkara dihentikan penyidikannya.
Dalam kasus penyalahgunaan narkotika, seringkali penyidik tidak menemukan alat bukti atau bukti permulaan yang cukup untuk meneruskan perkara ke tahap selanjutnya. Dalam proses ini, umumnya penyidik merujuk tersangka atau yang tertangkap ke lembaga rehabilitasi. Bagi lembaga rehabilitasi swasta yang berorientasi pada profit, biasanya mereka akan mematok tarif yang sangat mahal dengan dalih rawat jalan atau melakukan praktek pemerasan dengan ancaman akan dikembalikan ke pihak kepolisian bila permintaannya tidak dipenuhi.
Hal yang perlu diketahui, bahwa bilamana tersangka dirujuk ke lembaga rehabilitasi karena memang tidak ditemukan alat bukti yang cukup atau kasus selesai, maka tidak ada alasan bagi lembaga rehabilitasi untuk mengembalikan tersangka ke pihak kepolisian bilamana keluarga tidak memenuhi biaya yang ditetapkan. Pihak keluarga memiliki kewenangan untuk meminta dirujuk ke lembaga rehabilitasi milik Pemerintah tanpa dipungut biaya.
Ketiadaan Pengawasan
Minimnya pengawasan dan pembinaan serta sanksi tegas bagi rehabilitasi yang melakukan praktek-praktek pungli dan pemerasan menjadi kesempatan bagi pelaku dalam melancarkan modus operandi nya kepada klien atau keluarganya yang sedang dalam kondisi terjepit, bingung, panik dan tidak memiliki banyak pilihan.
Berdasarkan peraturan Menteri sosial nomor 3 tahun 2012, disebutkan bahwa Pemantauan dan evaluasi dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas dan pengendalian mutu penyelenggaraan lembaga rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkotika. Namun aturan ini dinilai belum diimplementasikan secara optimal mengingat, proses monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian terkait atau instansi terkait di tingkat provinsi atau kab/kota terbatas pada lembaga rehabilitasi sosial yang menerima dukungan pembiayaan dari Kementerian terkait. Proses pengawasan lebih ditekankan pada masalah pertanggung jawaban keuangan.
Pengalaman penulis saat melakukan pengaduan terhadap salah satu lembaga rehabilitasi yang melakukan praktek pungli dan pemerasan kepada Kementerian terkait adalah kurangnya respon cepat dalam menangani permasalahan tersebut dan ketiadaan sanksi administratif yang dapat diterapkan kepada lembaga selain daripada surat pernyataan tidak merekomendasikan. Lemahnya proses pengawasan ini yang akhirnya membuka kesempatan bagi para oknum berkedok lembaga rehabilitasi untuk tetap beroperasi.
Ada Harga Ada Kualitas?
Selayaknya sebuah hotel, perbedaan hotel bintang 2 atau 3 dengan Hotel bintang 5 tentu sangat mudah dilihat dari segi sarana prasarana, kualitas pelayanan, kebersihan, dan fasilitas penunjang lainnya yang memanjakan tamu yang menginap. Walaupun tidak ada penyematan bintang 2 hingga bintang 5 kepada lembaga rehabilitasi narkotika, namun tentu tidak sulit bagi klien atau keluarga klien yang mengakses layanan rehabilitasi untuk melihat apakah biaya yang ditetapkan sepadan dengan apa yang diterima oleh klien. Mulai dari sarana prasarana, sarana penunjang, kualitas SDM, standar program, layanan SDM Profesional pendukung lainnya.
Bila ada yang mematok tarif diatas 20-50 juta setiap bulannya dengan fasilitas seadanya, makanan seadanya, kualitas SDM masih dipertanyakan, tidak adanya professional pendukung lainnya (dokter, psikolog, psikiater) maka sudah dapat dipastikan mereka hanya oknum dengan mengatasnamakan rehabilitasi narkotika.
Publikasi: Ashefa Griya Pusaka