Dampak Buruk Kesehatan akibat Penggunaan Narkotika - Ashefa Griya Pusaka

Dampak Buruk Kesehatan akibat Penggunaan Narkotika

Dampak Buruk Kesehatan akibat Penggunaan Narkotika
Share on:

Narkotika memiliki efek yang berbeda-beda tergantung dari jenis dan cara penggunaannya, orang yang mengkonsumsinya dan lingkungan sekitarnya. Pelajari bagaimana tubuh seorang pengguna narkotika memprosesnya dan dampak yang ditimbulkan dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Dampak Buruk Kesehatan akibat Penggunaan Narkotika

Narkotika adalah zat yang apabila dikonsumsi akan mengubah keadaan mental atau fisik seseorang serta mempengaruhi cara kerja otak, bagaimana perasaan dan perilaku Anda.

Cara mengkonsumsi narkotika yang berbeda-beda dimana pada umumnya dengan cara ditelan dimana tubuh menyerap jenis narkotika tersebut melalui lapisan perut, dihisap dimana tubuh menyerap melalui lapisan paru-paru, dihirup (sniff) dimana tubuh menyerap melalui lapisan hidung yang tipis, atau disuntik dimana narkotika langsung masuk ke dalam aliran darah. Seluruh metode penggunaan tersebut akan berakhir di aliran darah dan mempengaruhi berbagai bagian tubuh Anda.

Tubuh akan memproses narkotika yang dikonsumsi dalam 4 tahap, yaitu (1) Penyerapan, yakni Ketika narkotika akan diserap ke dalam aliran darah dan seberapa cepat penyerapan ini terjadi tergantung pada bagaimana cara menggunakannya. (2) Distribusi, Setelah narkotika ada dalam aliran darah dan beredar dalam tubuh maka ia akan didistribusikan ke berbagai organ dan otak. Narkotika akan mempengaruhi bahan kimia dan reseptor di dalam otak, menyebabkan efek yang berbeda tergantung pada jenis narkotika yang dikonsumsi. (3) Metabolisme, selanjutnya tubuh kemudian memetabolisme narkotika tersebut atau memecahnya menjadi molekul yang lebih sederhana (dikenal sebagai metabolit) yang dapat lebih mudah dihilangkan. (4) Pengeluaran, yaitu tahap dimana narkotika yang telah dimetabolisme melewati sistem pencernaan akan keluar dari tubuh, biasanya melalui urine atau feses. Berapa lama waktu yang dibutuhkan tubuh Anda untuk menghilangkan efek dari narkotika itu sendiri sangat bervariasi. Hal tersebut tergantung pada banyak faktor, termasuk jenis narkotika itu sendiri (berapa banyak yang dikonsumsi, seberapa kuat pengaruh narkotika tersebut, dll) dan tentunya tergantung pada faktor individu yang mengkonsumsi sebagai individu (metabolisme, usia, kesehatan, dll).

Perbedaan Jenis Narkotika dan Efeknya

Narkotika mempengaruhi sistem saraf pusat tubuh. Mereka memengaruhi cara berpikir, merasa, dan berperilaku. Tiga jenis utama adalah depresan, halusinogen dan stimulan:

Depresan bertugas untukmemperlambat atau menekan fungsi sistem saraf pusat. Mereka memperlambat pesan yang masuk ke dan dari otak Anda. Dalam jumlah kecil depresan dapat menyebabkan seseorang merasa santai dan kurang terhambat. Dalam jumlah besar mereka dapat menyebabkan muntah, pingsan dan kematian. Depresan akan berdampak pada konsentrasi dan koordinasi tubuh, serta menurunkan kemampuan seseorang dalam merespon. Penting untuk tidak mengoperasikan alat berat saat menggunakan obat depresan. Beberapa jenis narkotika yang termasuk dalam golongan depresan antara lain alkohol, ganja, GHB, opiat (heroin, morfin, codein) dan benzodiazepine(obat penenang minor).

Halusinogen akan mendistorsi rasa realitas. Pengguna halusinogen mungkin melihat atau mendengar hal-hal yang sebenarnya tidak ada, atau melihat sesuatu dengan cara yang menyimpang. Efek lain dapat mencakup euforia emosional dan psikologis, mengatupkan rahang, panik, paranoia, gangguan lambung dan mual. Beberapa jenis narkotika yang termasuk ke dalam golongan halusinogen antara lain Ketamin, LSD, PCP, jamur ajaib.

Stimulan akan mempercepat atau \’merangsang\’ sistem saraf pusat. Mereka bertugas untuk mempercepat pengiriman pesan ke dan dari otak, membuat Anda merasa lebih waspada dan percaya diri. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan suhu tubuh, nafsu makan berkurang, agitasi dan sulit tidur. Dalam dosis yang tinggi stimulan dapat menyebabkan gangguan kecemasan, serangan panik, kejang-kejang, gangguan pada refleksi otot berupa keram perut dan paranoid. Beberapa jenis zat (legal dan illegal) yang termasuk dalam jenis stimulan antara lain kafein, nikotin, amfetamin, kokain dan ekstasi (MDMA).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional pada tahun 2019 tentang dampak kesehatan pada pengguna narkotika menemukan bahwa hasil studi menunjukkan berbagai keluhan fisik yang dialami oleh responden terkait penggunaan narkotika yang disalahgunakan. Gangguan kesehatan yang umumnya paling banyak dialami antara lain gangguan rongga mulut dan tenggorokan adalah yang paling banyak, dimana keluhan infeksi rongga mulut dialami oleh 59,5% responden, masalah pernapasan (52,8%), gangguan kulit (24,1%), dan overdosis sebanyak 14,1%. Dampak terhadap fisik lainnya yang dialami oleh responden antara lain pusing yang cukup parah 73%, bermasalah dengan kesehatan gigi sebanyak 64,1%, dan gangguan kesehatan pada mulut sebanyak 60,1%,  Untuk efek jangka panjang yang dialami antara lain 13,1% mengalami gangguan jiwa. Kedua, penyakit menular seksual sebesar 6,8%, lalu diikuti oleh hepatitis C sebanyak 5,8% dan TBC sebanyak 3,0%. Ragam gangguan kesehatan lain yang dialami oleh responden seperti  sirosis hati (1,5%), stroke (0,8%), kebocoran katup jantung (0,2%), dan penyakit lain 14,6% (depresi, halusinasi, gangguan bipolar, gangguan kecemasan dan gangguan kesulitan tidur)

Dampak kesehatan yang dialami oleh pengguna narkotika mengharuskan penyedia layanan rehabilitasi narkotia untuk turut memperhatikan dan menyediakan layanan terkait dengan kondisi kesehatan. Sebagaimana telah disebutkan dalam prinsip rehabilitasi narkotika yang efektif bahwa layanan rehabilitasi yang efektif tidak hanya terfokus pada masalah ketergantungan narkotikanya semata, melainkan turut memberikan layanan bagi kondisi kesehatan, psikis, sosial dan lainnya sebagai satu layanan yang komprehensif.

Tantangan atas pembiayaan rehabilitasi dalam Lembaga Pemasyarakatan

Dalam Undang-undang tentang Kesehatan juga telah ditegaskan dan dijamin bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dalam memperoleh akses kepada layanan kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Dalam implementasinya, status hukum seseorang sebagai WBP tidak terkendala secara langsung dalam mekanisme JKN.

Melalui nota kesepahaman yang dibuat oleh BPJS pada tahun 2018, WBP sudah masuk ke dalam salah satu penerima manfaat Jaminan Kesehatan Nasional. Hal ini dilakukan sebagai sebuah upaya perlindungan hak atas kesehatan bagi setiap warga negara. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, implementasi dari pengecualian atas gangguan kesehatan akibat penggunaan napza/alkohol sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden.

Materi muatan yang berisikan pengecualian bagi gangguan kesehatan akibat penggunaan napza/alkohol dari jaminan kesehatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 25 ayat (1) huruf (i) dan (j), Peraturan Presiden No. 82 tahun 2018 seakan mencederai amanat UUD 1945 khususnya mengenai hak setiap warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan. Dalam pembatasan yang diatur dalam Peraturan Presiden diatas menunjukan masih ada celah (gap) yang perlu dikaji lebih lanjut khususnya mengenai definsi dari pembatasan “Jenis-jenis Pelayanan”. Dua kriteria yang dikecualikan dan dikeluarkan dari perlindungan jaminan kesehatan nasional menggambarkan adanya kriteria dan prasyarat dari penerima layanan untuk mendapatkan jaminan kesehatan.

Berdasarkan delegasi dari UU No. 40 tahun 2004, Presiden telah membentuk Peraturan Presiden No. 12 tahun 2013 yang telah beberapa kali mengalami perubahan, dan yang terbaru adalah Peraturan Presiden No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Peraturan tersebut mencantumkan pembatasan jenis pelayanan yang tidak dibiayai oleh Jaminan Kesehatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 52 ayat (1) huruf (i) dan (j) yang secara lebih lengkap, berbunyi[1]:

Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin meliputi :

  • Gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol
  • Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat     melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri.

Materi muatan yang berisikan pengecualian bagi penerima jaminan kesehatan dalam Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j, Peraturan Presiden No. 82 tahun 2018 yang telah diubah melalui Peraturan Presiden No. 64 tahun 2020 seakan mencederai amanat UUD 1945 khususnya mengenai hak setiap warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Dalam pembatasan yang diatur dalam Peraturan Presiden diatas menunjukan masih ada celah (gap) yang perlu dikaji lebih lanjut khususnya mengenai definsi dari pembatasan “Jenis-jenis Pelayanan”. Dua kriteria yang dikecualikan dan dikeluarkan dari perlindungan jaminan kesehatan nasional menggambarkan adanya kriteria dan prasyarat dari penerima layanan untuk mendapatkan jaminan kesehatan. Sebagai contoh, permasalahan yang ditemukan di lapangan adalah tidak dapat diterimanya para pengguna/penyalahguna/pecandu narkotika pada layanan kesehatan (RS. Ketergantungan Obat, RS Pemerintah/Swasta) dikarenakan adanya pengecualian pada Peraturan Presiden ini. Kondisi yang cukup memprihatinkan ini diprediksi akan berdampak luas, mengingat kondisi negara yang telah berstatus “darurat narkoba”.[2]

Beberapa sumber pembiayaan yang dapat diakses oleh WBP dalam Lembaga Pemasyarakatan antara lain melalui APBN/APBD Kementerian Hukum dan HAM RI, APBN/APBD Kementerian Kesehatan, Dana bantuan operasional kesehatan (BOK), Program Nasional Penanggulangan TB, Program Nasional Penanggulangan HIV, Program Nasional Program Rehabilitasi narkoba dalam Lapas, Program Nasional Penanggulangan Hepatitis B/C dan JKN – KIS. Patut disayangkan, bilamana khusus untuk gangguan kesehatan yang diakibatkan penggunaan narkotika tidak termasuk ke dalam jenis layanan yang dijamin oleh Jaminan Kesehatan Nasional.

Pelaksanaan program rehabilitasi dalam lembaga pemasyarakatan turut berdampak terhadap beban pembiayaan yang menggunakan dana APBN. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam sektor pembiayaan antara lain minimnya anggaran untuk pelaksanaan program rehabilitasi dalam lembaga pemasyarakatan dan over capacity yang terjadi pada lembaga pemasyarakatan dimana kasus narkotika mendominasi jumlah warga binaan pemasyarakatan.

Berdasarkan data anggaran Direktorat Jenderal Pemasyarakat periode tahun 2016 – 2018, tercantum anggaran untuk Penyelenggaraan kegiatan perawatan kesehatan dan rehabilitasi tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Anggaran biaya hanya berkisar antara 1 milyar – 1,4 Milyar di 2018. Jumlah ini tentunya masih belum cukup ideal untuk pelaksanaan sebuah program rehabilitasi.

Perlu dipertimbangkan untuk membatalkan pengaturan yang mengecualikan gangguan kesehatan akibat penggunaan narkotika dari Jaminan kesehatan nasional. Ketersediaan Jaminan kesehatan atas pelaksanaan layanan rehabilitasi narkotika khususnya bagi warga binaan pemasyarakatan tentunya akan sangat membantu sektor pembiayaan untuk mengimplementasikan layanan rehabilitasi dan layanan kesehatan lainnya tanpa menambah beban APBN.

Beberapa alternatif solusi lain yang patut dipertimbangkan oleh pemangku kebijakan adalah melakukan pendekatan hukum berbasis restoratif dengan memprioritaskan pendekatan kesehatan dalam bentuk rehabilitasi rawat inap dan/atau rawat jalan bagi pengguna narkotika yang tertangkap dan memenuhi syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penempatan pengguna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi yang berkualitas selain dapat mengurangi beban anggaran APBN juga dapat mengatasi permasalahan over capacity dalam lembaga pemasyarakatan yang dapat berdampak lebih luas terhadap masalah kesehatan lainnya.


[1] Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 tauhn 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional, pasal 25 ayat (1) huruf  h dan i
[2] Data BNN jumlah pecandu 4,2 juta jiwa, dengan jumlah yang butuh rehabilitasi sekitar 1,6 juta jiwa, www.bnn.go.id, diakses pada 18 november 2015 pukul 11.20 wib

Publikasi: Ashefa Griya Pusaka

Scroll to Top